Rabu, 02 November 2011

BAHASA ARAB KUNCI ILMU-ILMU ISLAM

BAHASA ARAB KUNCI ILMU-ILMU ISLAM

Segala puji bagi Allah. Kita memuji-Nya. Kita meminta pertolongan
kepada-Nya. Dan kita berlindung kepada Allah dari kejelekan hawa nafsu
dan amal perbuatan kita. Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah
maka tidak ada yang dapat menyesatkan-Nya. Dan barangsiapa yang
disesatkan oleh-Nya maka tidak ada seorang pun yang sanggup
menunjuki-Nya. Aku bersaksi bahwa tiada sesembahan yang benar selain
Allah semata dan tiada sekutu bagi-Nya. Dan aku bersaksi bahwa Muhammad
adalah hamba dan utusan-Nya. Beliau telah menyampaikan risalah. Beliau
pun telah menunaikan amanah. Beliau telah berjihad di jalan Allah
dengan sebenar-benar jihad. Semoga shalawat dan salam dari Allah selalu
terlimpah kepadanya, kepada keluarga, para sahabat dan segenap pengikut
mereka yang setia hingga hari kiamat tiba.

KEMULIAAN BAHASA ARAB
Sesungguhnya bahasa Arab merupakan bahasa yang
dipilih oleh Allah untuk agama ini. Tidak ada seorang cerdik pun yang
meragukan jikalau peranan bahasa Arab bagi ilmu-ilmu Islam itu
sebagaimana peranan lisan bagi segenap anggota badan. Bahkan, tidaklah
berlebihan jika kita katakan bahwa sesungguhnya kedudukan bahasa Arab
itu ibarat jantung bagi tubuh manusia. Sebab ia merupakan bahasa agama
Islam yang paling luhur. Dengan bahasa inilah Al Qur’an Al ‘Azhim
diturunkan. Allah jalla wa ‘ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya
Kami menurunkannya berupa Al Qur’an dengan berbahasa Arab, agar kamu
memahaminya.” (QS. Yusuf : 2)
Imam Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan,”Hal itu dikarenakan bahasa
Arab merupakan bahasa yang paling fasih, bahasa yang paling gamblang
dalam hal pemaparan, bahasa yang paling luas cakupannya, dan bahasa
yang paling banyak menyentuh berbagai makna yang dirasakan di dalam
jiwa. Oleh sebab itulah kitab yang paling mulia ini diturunkan dengan
bahasa yang paling mulia pula…”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,“Sesungguhnya tatkala
Allah menurunkan kitab-Nya dengan bahasa Arab, tatkala Allah mengangkat
Rasul-Nya sebagai penyampai Al Kitab dan Al Hikmah dari-Nya melalui
lisan beliau yang berbahasa Arab, tatkala Allah menjadikan orang-orang
yang terdahulu membela agama ini dalam keadaan bertutur kata dengan
bahasa itu, dan terlebih lagi tatkala tidak ada cara lain untuk
memelihara keutuhan ajaran agama dan memahaminya kecuali dengan menjaga
bahasa ini, maka itu berarti mempelajarinya termasuk bagian dari ajaran
agama dan akan lebih memudahkan orang dalam menegakkan syi’ar-syi’ar
agama.”
Allah pun telah mencirikan Kitab-Nya sebagai sebuah kitab yang
berbahasa Arab dan tidak mengandung kebengkokan. Allah mensifati Al
Qur’an sebagai sesuatu yang lurus. Selain itu Allah juga mensifati Al
Qur’an dengan sesuatu yang jelas. Allah berfirman yang artinya,”Allah
menurunkan Al Qur’an ini dengan bahasa Arab yang jelas.” Allah pun
mensifatinya dengan keadilan. Allah berfirman yang artinya,”Dan
demikian pula Kami turunkan ia sebagai keputusan (keadilan) yang
berbahasa Arab.” (dinukil dari Ta’liqaat Jaliyah)

HUKUM MEMPELAJARINYA
Syaikhul Islam mengatakan: “Dan sesungguhnya bahasa
Arab itu sendiri bagian dari agama dan hukum mempelajarinya adalah
wajib, karena memahami Al-Kitab dan As-Sunnah itu wajib dan keduanya
tidaklah bisa difahami kecuali dengan memahami bahasa Arab. Hal ini
sesuai dengan kaidah : Apa yang tidak sempurna suatu kewajiban kecuali
dengannya maka ia juga hukumnya wajib. Namun disana ada bagian dari
bahasa Arab yang wajib ‘ain dan ada yang wajib kifayah.” (Iqtidho
shirothil mustaqim)

KEDUDUKAN ILMU NAHWU
Ilmu Nahwu adalah ilmu yang sangat penting. Sebab
segala bidang ilmu syari’at pasti memerlukannya. Oleh sebab itu para
penuntut ilmu sudah semestinya bersungguh-sungguh dalam memahami kaidah
bahasa Arab dan berusaha untuk tidak terjatuh dalam kekeliruan dalam
penuturan kata bahasa Arab. Khalifah Rasyid ‘Umar bin Khaththab
radhiyallahu’anhu menulis surat untuk Abu Musa Al Asy’ari yang isinya
mengatakan,”Amma ba’du. Dalamilah ilmu As Sunnah. Pelajarilah ilmu
bahasa Arab. I’rablah Al Qur’an, sebab ia itu berbahasa Arab”. Beliau
pun berpesan,”Pelajarilah bahasa Arab karena sesungguhnya ia adalah
bagian penting dari agama kalian. Pelajarilah ilmu waris, karena ia
juga bagian penting dari agama kalian.”
Al Ashma’i rahimahullah mengatakan,”Sesungguhnya perkara yang paling
aku khawatirkan menimpa penuntut ilmu tatkala dia tidak paham Nahwu
maka dia akan tergolong kelompok orang yang disabdakan oleh Rasul
shallallahu ‘alaihi wa sallam,”Barangsiapa yang sengaja berdusta atas
namaku maka hendaknya dia mempersiapkan tempat duduknya di dalam
neraka.” (HR. Bukhari [108] dan Muslim [1/10])
Maka tidaklah mengherankan jika Imam Syafi’i rahimahullah mengatakan
tentang keagungan ilmu Nahwu ini,”Orang yang memiliki pengetahuan yang
luas dalam hal ilmu Nahwu maka dia akan menemukan jalan untuk menyusuri
seluk beluk setiap bidang ilmu.” (Syadzaratu dzahab, Ibnul ‘Imad Al
Hanbali, 231) Beliau juga pernah mengatakan,”Tidaklah ada sebuah
pertanyaan masalah hukum yang dilontarkan kepadaku melainkan aku bisa
menjawabnya dengan bantuan kaidah ilmu Nahwu.” (Syadzaratu dzahab,
Ibnul ‘Imad Al Hanbali, 231) Beliau menegaskan bahwa ilmu Nahwu adalah
jembatan untuk memahami ajaran syari’at. Beliau berkata,”Tidak ada
maksudku dalam menekuninya -yaitu ilmu bahasa Arab- kecuali untuk
membantuku dalam memahami persoalan hukum.” (Siyar A’lamin Nubalaa’,
1/75) (dinukil dari Ta’liqaat Jaliyah)

AWALNYA AGAK SULIT TAPI AKHIRNYA MUDAH
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan, ”Sesungguhnya ilmu Nahwu adalah ilmu yang mulia. Sebuah ilmu perantara yang menjembatani kepada dua hal yang sangat penting; Pertama : guna memahami Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, hal itu dikarenakan pemahaman terhadap banyak permasalahan yang ada di dalamnya sangat tergantung kepada pemahaman ilmu Nahwu. Kedua : guna membenarkan ucapan menurut kaidah bahasa Arab, yang dengan bahasa inilah Kalamullah ‘Azza wa jalla diturunkan. Oleh sebab itu pemahaman ilmu Nahwu adalah perkara yang sangat penting. Meskipun untuk memahami Nahwu memang pada awalnya terasa sukar, namun pada akhirnya akan terasa mudah. Ada sebagian orang yang membuat perumpamaan tentang ilmu Nahwu ibarat sebuah rumah yang
terbuat dari bambu namun pintunya terbuat dari besi. Maksudnya, rumah
itu sulit untuk dimasuki, namun jika kamu sudah memasukinya maka segala
sesuatu akan menjadi mudah bagimu. Karena itulah sudah semestinya
setiap orang bersemangat dalam mempelajari prinsip-prinsip dasar ilmu
tersebut sehingga materi-materi lainnya akan terasa mudah baginya.
Janganlah dipikirkan komentar orang yang mengatakan,”Nahwu itu sulit.”
Sehingga hal itu akan memunculkan anggapan dalam diri seorang penuntut
ilmu bahwasanya dirinya tidak mungkin bisa menguasainya. Padahal
ungkapan itu tidak sepenuhnya benar. Akan tetapi hendaknya kamu perkuat
pemahamanmu terhadap prinsip-prinsip dasarnya sehingga materi-materi
lainnya akan menjadi mudah untuk dimengerti.” (Syarah Ajurumiyah)

NIAT BAIK DAN PEMAHAMAN YANG BENAR
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah
mengatakan, “Pemahaman yang benar dan niat yang baik adalah termasuk
nikmat paling agung yang dikaruniakan Allah kepada hamba-Nya. Bahkan
tidaklah seorang hamba mendapatkan pemberian yang lebih utama dan lebih
agung setelah nikmat Islam daripada memperoleh kedua nikmat ini. Bahkan
kedua hal ini adalah pilar tegaknya agama Islam, dan Islam tegak di
atas pondasi keduanya. Dengan dua nikmat inilah hamba bisa
menyelamatkan dirinya dari terjebak di jalan orang yang dimurkai (al
maghdhuubi ‘alaihim) yaitu orang yang memiliki niat yang rusak. Dan
juga dengan keduanya ia selamat dari jebakan jalan orang sesat (adh
dhaalliin) yaitu orang-orang yang pemahamannya rusak. Sehingga dengan
itulah dia akan termasuk orang yang meniti jalan orang yang diberi
nikmat (an’amta ‘alaihim) yaitu orang-orang yang memiliki pemahaman dan
niat yang baik. Mereka itulah pengikut shirathal mustaqim..” (I’laamul
Muwaqqi’iin, 1/87, dinukil dari Min Washaaya Salaf, hal. 44)

MENJAGA KEIKHLASAN
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah
pernah ditanya : Dengan cara apakah dapat diperoleh keikhlasan dalam
menuntut ilmu ? Beliau menjawab : Ikhlas dalam menuntut ilmu itu bisa
dicapai dengan beberapa hal :
Pertama : Dalam belajar engkau berniat demi melaksanakan perintah Allah. Karena Allah telah memerintahkannya, Allah berfirman (yang artinya), “Maka ketahuilah bahwasanya tiada sesembahan yang hak selain Allah dan mintalah ampun atas dosa-dosamu”. Dan Allah subhanahu wa ta’ala juga mendorong orang supaya menuntut ilmu. Sedangkan dorongan Allah atas sesuatu memberikan konsekuensi kecintaan dan keridhaan Allah terhadap hal itu.
Kedua : Dalam belajar engkau berniat demi menjaga syari’at Allah.
Karena penjagaan syari’at Allah itu hanya bisa dilakukan dengan
mempelajari dan menghafalkannya di dalam dada, dan bisa juga dengan
mencatat.
Ketiga : Dalam belajar engkau berniat untuk melindungi syari’at dan membelanya. Karena seandainya tidak ada ulama niscaya syari’at tidak
akan terlindungi. Dan tidak ada seorang pun yang menjadi pembelanya.
Oleh sebab itulah, misalnya, kita dapati Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
dan ulama yang lainnya bersikap lantang memusuhi ahli bid’ah dan
membeberkan kebatilan bid’ah-bid’ah mereka, maka kami berpandangan
bahwa mereka itu memperoleh kebaikan (pahala) banyak sekali.
Keempat : Dengan belajar itu engkau berniat mengikuti syari’at Muhammad
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena engkau tidak mungkin bisa
mengikuti syari’at beliau kecuali apabila engkau sudah mengetahui isi
syari’at ini.
Kelima : Dengan belajar itu engkau berniat dalam rangka menghilangkan
kebodohan dari dirimu sendiri dan dari orang lain (Kitabul ‘Ilmi, hal.
199)

BELAJAR DENGAN SABAR
Syaikh Shalih bin Abdul ‘Aziz Alu Syaikh
menasehatkan,“Dalam tahapan menuntut ilmu ada dasar-dasar ilmu yang
harus dipelajari. Ilmu itu juga bertingkat-tingkat. Barangsiapa yang
tidak menuntut ilmu sesuai dengan tingkatan-tingkatannya serta tidak
memulainya dengan ilmu-ilmu yang dasar-dasar, maka sesungguhnya dia
tidak akan bisa meraih hasilnya dengan baik. Perkara ini sering sekali
saya ingatkan supaya ia tertanam kuat di dalam hati para penuntut dan
pecinta ilmu. Yaitu sebuah prinsip penting yang menyatakan bahwasanya :
Ilmu itu seharusnya dituntut sedikit demi sedikit dan berjalan terus
beriringan dengan perjalanan waktu siang dan malam. Sebagaimana hal itu
pernah dilontarkan oleh seorang Imam yang sangat populer yaitu Ibnu
Syihab Az Zuhri. Ketika beliau mengatakan, “Barangsiapa yang
menginginkan segudang ilmu secara sekaligus maka niscaya ilmu itu akan
hilang darinya juga secara tiba-tiba. Karena sesungguhnya ilmu harus
ditimba (sedikit demi sedikit) seiring dengan perjalanan waktu siang
dan malam.” (Syarh Arba’in An Nawawiyah)
Inilah sedikit faedah yang bisa saya kumpulkan terkait dengan bahasa
Arab dan kiat-kiat dalam mempelajarinya. Semoga bisa bermanfaat bagi
penulisnya, pembacanya dan siapa pun yang turut menyebarluaskannya.

Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala aalihi wa shahbihi wa sallam.

Posting oleh Ismajid ke IQRO pada 1/08/2009 04:37:00 PM

Tidak ada komentar:

Posting Komentar