Senin, 24 Oktober 2011

Hayya Nadrus Al-Lughah Al-Arabiyyah

حَيَّ نَدْرُسُ اللُّغَةَ العَرَبيَّةَ

نَحْنُ نَدْرُسُ اللُّغَةَ العَرَبيَّةَ
نَحْنُ نَفْهَمُ اللُّغَةَ العَرَبيَّةَ
لُغَةُ القُرْآنِ وَلُغَةُ السُّنَّةِ وَالكُتُبِ الإِسْلاَمِيَّةِ
نَحْنُ نُحِبُّ اللُّغَةَ العَرَبيَّةَ
نَحْنُ نَنْشُرُ اللُّغَةَ العَرَبيَّةَ
لُغَةُ الجَنَّةِ وَلُغَةُ المُسْلِمِيْنَ فِى أَنْحَاءِ العَالَمِ

<فَيَا أَيــُّهَا الإِخْوَانُ
حَيَّ عَلَى دَرْسِهَا
حَيَّ عَلَى نَشْرِهَا لإِعْلاَءِ كَلِمَاتِ اللهِ
أَيــَّتُهَا الأَخَوَاتُ
حَيَّ عَلَى دَرْسِهَا
حَيَّ عَلَى نَشْرِهَا فِى أَنْحَاءِ العَالَمِ

Mahfudhat

Mahfudhat
Abdul Al-Aziz

1. Barangsiapa bersungguh-sungguh, dapatlah ia
من جدّ وجد
2. Tuntutlah ilmu sejak dari buaian hingga ke liang kubur
أطلب العلم من المهد الى اللحد
3. Barangsiapa menanam pasti akan memetik (mengetam)
من يزرع يحسد
4. Tidak ada kenikmatan kecuali setelah kepayahan
وما اللذّة الى بعد التعب
5. Seandainya tiada berilmu niscaya manusia itu seperti binatang
لولا العلم لكان الناس كالبهائم
6. Sebaik-baik teman duduk pada setiap waktu adalah buku
خير جليس فى الزمان كتاب
7. Barangsiapa tahu jauhnya perjalanan, bersiap-siaplah ia
من عرف بعد السّفر استعدّ
8. Tergelincirnya kaki itu lebih selamat daripada tergelincirnya lidah
عثرة القدم أسلم من عشرة اللسان
9. Hamba sahaya itu harus dipukul dengan tongkat, dan orang yang merdeka (bukan budak) cukuplah dengan isyarat.
العبد يضرب بالعصا والحرّ تكفيه الاشارة
10. Awal kemarahan itu adalah ketidakwarasan dan akhirnya adalah penyesalan
أوّل الغضب جنون وآخره ندم
11. Segala sesuatu apabila banyak menjadi murah, kecuali budi pekerti
كلّ شيئ إذا كثر رخص إلاّ الأدب
12. Barangsiapa berjalan pada jalannya, sampailah ia.
من سار على الدرب وصل
13. Pokok segala dosa itu adalah kebohongan.
رأس الذنوب الكذب
14. Bekerja itu membuat yang sukar menjadi mudah.
العمل يجعل الصعب سهلا
15. Tuntutlah ilmu walaupun di negeri Cina
أطلب العلم ولو بالصين
16. Temanmu adalah yang menangisimu (membuatmu menangis), bukan orang yang menertawakanmu (membuatmu tertawa).
صديقك من أبكاك لا من أضحكك
17. Cobalah dan perhatikanlah, niscaya kau menjadi orang yang tahu.
جرّب ولاحظ تكن عارفا
18. Tidak akan kembali hari-hari yang telah berlalu.
لن ترجع الأيّام التى مضت
19. Barangsiapa sedikit benarnya/kejujurannya, sedikit pulalah temannya.
من قلّ صدقه قلّ صديقه
20. Pergaulilah orang yang jujur dan menepati janji.
جالس أهل الصّدق والوفاء
21. Ilmu tiada amalan bagaikan pohon tidak berbua
العلم بلا عمل كالشجر بلا ثمر
22. Balasan suatu kejahatan itu adalah kejahatan yang sama dengannya
فجزاء سيّئة سيّئة مثلها
23. Barangsiapa yang menggali lubang akan terperosoklah ia di dalamnya
من حفر حفرة وقع فيها
24. Bukanlah cela itu bagi orang yang miskin, tapi cela itu terletak pada orang yang kikir
ليس العيب لمن كان فقيرا بل العيب لمن كان بخيلا
25. Sebaik-baiknya teman itu adalah yang menunjukkanmu kepada kebaikan.
خير الأصحاب من يدلّك على الخير

TIPS MEMPELAJARI BAHASA ARAB

Tips Mempelajari Bahasa Arab
Rian Permana

Kebanyakan orang merasa bahwa mempelajari bahasa arab itu sangat sulit, mereka sudah mengikuti kursus bahasa arab berkali-kali, akan tetapi mereka masih saja tidak bisa menguasai bahasa arab, yang akhirnya mereka beranggapan “belajar bahasa arab sangatlah sulit”. Sebenarnya apa yang membuat orang merasa sulit untuk mempelajari bahasa arab, bukankah Allah telah mengatakan bahwa agama ini sangat mudah untuk dipelajari?? Lantas kenapa mereka tetap saja tidak bisa menguasai bahasa arab?? jawabannya, karena mereka tidak mengetahui caranya…

Berikut ini adalah tips-tips bagi yang ingin mempelajari bahasa arab dengan mudah dan cepat..: )

1. Ikhlaskan niat hanya untuk Allah

Banyak orang ingin mempelajari bahasa arab hanya karena ia ingin bekerja atau sekolah di negri arab dan yang parahnya ada orang yang ingin mempelajari bahasa arab hanya karena gengsi akibat teman-temannya bisa bahasa arab. Niat yang demikian inilah salah satu penyebab kita menjadi sulit untuk mempelajari bahasa arab, karena ketika kita meniatkan mempelajari bahasa arab karena Allah, maka niscaya Allah akan membantu kita untuk memudahkan di dalam mempelajari dan mengamalkannya, dimana Allah telah berfirman :

إِن تَنصُرُوا اللهَ يَنصُرْكُمْ
“jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Allah akan menolongmu” (muhammad : 7)

Salah satu bentuk menolong agama Allah, adalah dengan mengagungkan syiarnya, dan bahasa arab merupakan syiar dari agama islam.

Dari hal ini, marilah kita luruskan niat kita, ikhlaskan niat kita terlebih dahulu untuk mempelajari bahasa arab karena Allah, agar Allah memudahkan kita di dalam memahami dan mengamalkan bahasa arab, disamping menjadi amal kita dalam upaya beribadah kepada Allah ta’ala.

2. Belajar bahasa arab dari dasar dan tidak terburu-buru.

Salah satu hal yang menyebabkan kita sulit mempelajari bahasa arab adalah karena kita tidak sabar di dalam mempelajarinya. Banyak di antara saudara kita yang mengikuti kursus bahasa arab lebih dari satu tempat, bahkan ada yang mengikuti 2 tempat kursus dalam seminggu dengan pembahasan yang berbeda-beda. Hal ini merupakan suatu kesalahan, di dalam belajar bahasa arab kita dituntut untuk belajar tahap demi tahap, yang mana kita tidak akan bisa menguasai pelajaran bahasa arab selanjutnya sebelum memepelajari dan memahami pelajaran dasar-dasarnya. Hal ini telah dijelaskan dan dibuat kaidah oleh para ulama.

منِ اسْتعجلَ شيئاً قبلَ أَوانِهِ عُوقِبَ بحرمانِهِ

“barangsiapa yang terburu-buru dalam mendapatkan sesuatu, maka ia dihukum untuk tidak mendapatkannya”

Oleh karenanya, hendaknya kita mempelajari bahasa arab secara bertahap dan tidak terburu-buru. Sabar adalah kunci keberhasilan.. : )

3. Pada awal belajar, hendaknya belajar hanya pada satu guru.

Merupakan suatu kesalahan ketika kita menjadikan banyak orang menjadi guru kita dalam mempelajari bahasa arab dasar. Hal ini karena, setiap orang pastinya mempunyai metode pembelajaran yang berbeda-beda, sehingga ketika kita tidak terbiasa dengan perubahan metode cara ngajar, menyebabkan kita menjadi sulit untuk memahami dan akhirnya menjadi bingung dan pusing.

Pada awal mula kita mempelajari bahasa arab, cukuplah satu orang yang menjadi guru kita, adapun jika kita sudah cukup mahir dalam bahasa arab, atau sudah paham mengenai dasar-dasar bahasa arab, maka hal ini tidak mengapa jika kita berguru dengan banyak orang.

Praktek dalam hal ini sudah diterapkan oleh para ulama-ulama kita, pada awal mereka belajar agama, mereka hanya mengambil ilmu pada satu orang guru saja, kemudian setelah mengetahui dasar-dasar agama, barulah mereka mencari guru-guru yang lain. Sehingga wajar jika kita melihat ada ulama yang mazhabnya mencolok ke imam syafi’I saja atau imam ahmad saja.

Perlu diketahui, belajar hanya semata-mata dari buku, tidak menjamin kita menjadi orang yang ahli bahasa arab jika masih dalam taraf awal, lain cerita jika sudah memahami dasar-dasarnya. Karena sebagaimana sudah dijelaskan, metode pembelajaran setiap orang dan buku berbeda-beda, jika kita tidak ada pemahaman dasarnya, maka bingung dan pusing adalah akibatnya…: )

4. Mempraktekkan ilmu yang telah dipelajari.

Jika kita tidak mempunyai teman untuk mempraktekkan ilmu yang sudah dipelajari, Al-qur’an adalah solusi tepat dan merupakan teman setia yang akan membimbing kita di dalam memahami bahasa arab, terutama dalam masalah ilmu nahwu.

Dari pelajaran yang telah diberikan, coba diterapkan dengan dibantu Al-qur’an, cari mana saja isim, fi’il dan huruf atau isim dhomir, isim maqsur dan lain-lainnya. Begitu juga dengan keadaan katanya, apakah marfu, mansub atau majrur. Dengan hal ini, kita akan terbiasa dengan kata-kata tersebut, ketika kita menemukan kata asing, kita melihat kembali pelajaran atau buku bahasa arabnya, sehingga kita menjadi lancar di dalam membedakan tiap-tiap katanya. Selain itu, dengan dibantu Al-qur’an, mufrodat atau kosakata kita akan menjadi semakin bertambah… : )

5. Mengamalkan dengan cara mengajarkan kepada orang lain.

Cara paling efektif untuk memperlancar bahasa arab adalah dengan cara mengajarkannya kepada orang lain, dengan hal ini, ilmu kita semakin bertambah, dan daya ingat kita terhadap pelajaran menjadi semakin kuat.
Cara lain, jika kita tidak bisa menemukan orang yang mau kita ajari, kita bisa membuat tulisan seperti yang saya lakukan, dan ini terbukti semakin menambah ilmu dan daya ingat saya akan bahasa arab… : )

6. Kontinyu dan senantiasa melaksanakan kelima hal di atas.
Dengan melaksanakan kelima hal di atas secara terus menerus, insyaAllah mempelajari bahasa arab menjadi suatu hal yang mudah dan menyenangkan… : )

Selamat mencoba…
Sumber: http://www.facebook.com

Minggu, 23 Oktober 2011

MAKNA DI BALIK IBADAH KURBAN

Khutbah Idul Adha 1431 H.
Makna di Balik Ibadah Kurban
H. Ilyas Rifai, MA.

Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Maasyiral Muslimin rahimakumullah
Marilah kita panjatkan puji syukur ke hadirat Allah Swt. atas segala nikmat dan karunia-Nya. Di pagi nan indah ini kita masih diberi umur panjang dan kesehatan, sehingga untuk kesekian kalinya kita berkesempatan menikmati keagungan Idul Adha sebagai hari besar Islam untuk mengagingkan Allah, memiji-Nya dan bersyukur kepada-Nya.
Allahu Akbar Allahu Akbar Allahu Akbar Walillahi Hamd
Ada dua peristiwa sakral dan agung pada hari raya idul adha, yaitu disyariatkannya ibadah kurban dan kewajiban ibadah haji, yang kedua-duanya merupakan syariat yang berasal dari sejarah kehidupan Nabiyullah Ibrahim as.
Berkurban (Qurban) secara harfiah, bermakna “dekat”. Berasal dari bahasa Arab qaruba-yaqrubu-qurban-waqurbanan. Yakni sebuah usaha untuk menyingkirkan hal-hal yang dapat menghalangi upaya mendekatkan kita kepada Allah.
Upacara kurban pertamakali dalam sejarah kemanusiaan dimulai oleh kisah Qabil dan Habil, putra Nabi Adam as. Keduanya disuruh berkurban oleh ayah mereka. Habil mempersembahkan hewan yang paling baik dengan hati yang ikhlas. Sementara Qabil berkurban hanya untuk mengalahkan saudaranya. Kisah ini kemudian dicatat dalam QS. Al-Maidah: 27-30. Dan peristiwa ini menjadi tonggak awal sejarah kurban dalam agama Islam.

Ceritakanlah kepada mereka kisah kedua putera Adam (Habil dan Qabil) menurut yang Sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan korban, Maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). ia Berkata (Qabil): "Aku pasti membunuhmu!". Berkata Habil: "Sesungguhnya Allah Hanya menerima (korban) dari orang-orang yang bertakwa".
"Sungguh kalau kamu menggerakkan tanganmu kepadaku untuk membunuhku, Aku sekali-kali tidak akan menggerakkan tanganku kepadamu untuk membunuhmu. Sesungguhnya Aku takut kepada Allah, Tuhan seru sekalian alam."
"Sesungguhnya Aku ingin agar kamu kembali dengan (membawa) dosa (membunuh)ku dan dosamu sendiri, Maka kamu akan menjadi penghuni neraka, dan yang demikian Itulah pembalasan bagi orang-orang yang zalim."
Maka hawa nafsu Qabil menjadikannya menganggap mudah membunuh saudaranya, sebab itu dibunuhnyalah, Maka jadilah ia seorang diantara orang-orang yang merugi. (QS. Al-Maidah: 27-30).

Allahu Akbar Allahu Akbar Allahu Akbar Walillahi Hamd
Dalam konteks Idul Adha, berkurban memiliki nilai historis dan pesan makna yang lebih luas. Pertama, hari raya kurban mempunyai kaitan dengan peristiwa Nabi Ibrahim as, yakni, ketika Allah memerintahkan untuk menyembelih putranya Ismail as. Padahal telah sekian lama ia mendambakan kehadiran anak itu dengan berdoa siang dan malam: Rabbi habli minasshalihin (Tuhan, karuniai aku anak yang saleh). Doa itu terkabul, lahirlah seorang anak yang dalam bahasa Al-Quran disebut ghulaman halima (bocah yang lembut).
Ironisnya, ketika anaknya berangkat dewasa, Allah memerintahkan pengorbanan yang paling sulit dilihat dari kepentingan dirinya sebagai seorang ayah dan hamba yang telah lama mendambakan keturunan. Kita bisa membayangkan bagaimana perasaan Nabi Ibrahim as. kala itu. Anak yang didambakan dan menjadi tumpahan rasa kasih sayangnya itu harus rela dikorbankan demi memenuhi perintah Allah. Sungguh! Itu adalah sebuah perjuangan yang sangat berat!

“Tatkala anak itu sampai (pada usia sanggup) berusaha, Ibrahim berkata, ’Hai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi menyembelihmu. Maka bagaimana pendapatmu?’ Ia menjawab, ‘Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu. Insya Alloh kamu akan mendapatiku termasuk orang yang sabar’” (QS. Ash-Shaffat: 102)

Meskipun perintah tersebut sebenarnya hanya ingin menguji keimanan Ibrahim, pasalnya, ketika dikaruniai anak, cinta Ibrahim mulai terbagi. Kalau dulu (sebelum berketurunan) dia sangat konsentrasi pada Allah, setelah kehadiran Ismail, konsentrasinya mulai terbelah: pada Allah dan pada anaknya. Karena saking cintanya, Allah pun mengujinya dengan scenario yang tak kalah ektrem, memerintah agar segera menyembelih Ismail as. ternyata Nabi Ibrahim berhasil lulus membunuh “berhala” dalam hatinya. Meski, saat akan dilakukan penyembelihan itu, kemudian Allah menggantinya dengan seekor kambing.

‘Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipisnya, (sehingga terbuktilah kesabaran keduanya), maka Kami panggil dia: ‘Hai Ibrahim, sungguh kamu telah membenarkan mimpi itu. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata’.” (QS. Ash-Shaffat: 103-106)

“Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. Kami abadikan untuk Ibrahim (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang datang kemudian. Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim.” (QS. Ash-Shaffat: 107-109)

Perintah sembelihlah anakmu, sebenarnya adalah perintah menyembelih segala ego, kerakusan, dan nafsu yang ada di dalam hati, yang itu semua dapat menjadi tabir kedekatan dan hubungan kita terhadap Allah dan sesama manusia. Peristiwa yang memiliki makna yang luar biasa ini sampai kini masih ditradisikan oleh Islam.
Kedua, digantinya Ismail dengan hewan kurban itu juga memiliki latar sejarah. Nabi Ibrahim dilahirkan di sebuah kabilah yang bernama Jurhum. Di kabilah itu, animisme menjadi sebuah kepercayaan, yang kerap melakukan pengorbanan manusia; entah itu anaknya, istrinya, dengan mengatasnamakan Tuhan. Jadi, tradisi kurban itu sudah ada dan sudah terbiasa sekali. Disembelihnya Ismail yang kemudian diganti dengan hewan ternak itu, sebenarnya merupakan simbolisasi diangkatnya esensi harkat dan martabat manusia ke dalam citra kemanusiaannya yang paling mulia. Ia mencontohkan kepada umatnya agar mengubah sebuah tradisi yang tidak memanusiakan manusia tersebut. Karena, pada hakikatnya sesama manusia itu tidak boleh saling membunuh. Allah tidak butuh sesaji atau darah apa pun. Dalam Islam, berkurban hendaknya dimaknai sebagai proses penyucian diri (tazkiatu nafs) atas segala noda dan dosa di dalam ranah diri serta bisa dirasakan oleh orang lain dalam ranah masyarakat.
Allahu Akbar Allahu Akbar Allahu Akbar Walillahi Hamd
Hari ini, begitu usai melaksanakan shalat Id hingga hari-hari tasyrik, tanggal 11, 12, 13 Dzulhijjah, umat Islam yang mampu diperintahkan untuk memotong hewan kurban. Rasulullah mengancam terhadap orang yang mampu tetapi enggan untuk beribadah kurban.

Barangsiapa yang mempunyai kelapangan rezeki tetapi tidak berkurban, makatak patut ia mendekati tempat shalat kami (HR. Ahmad)

Allahu Akbar Allahu Akbar Allahu Akbar Walillahi Hamd

Daging kurban itu untuk siapa?
Diriwayatkan, bahwa setiap hari raya Idul Adha tiba, Rasulullah menyembelih dua ekor domba yang gemuk, bertanduk, dan berbulu putih bersih. Sebagian dari dagingnya dimakan oleh Rasulullah dan keluarganya. Sebagiannya lagi ditebarkan kepada fakir miskin.
Dari riwayat tersebut jelaslah, bahwa daging kurban itu diperuntukkan oleh sebagian pelaku kurban dan senagian lainnya untuk fakir miskin. Bukan untuk Allah karena Allah tidak memakan dagingnya. Oleh karena itu, penyembelihan hewan kurban hendaknya diartikan sebagai proses diri menuju ketakwaan. Allah berfirman:

“Tidak sampai kepada Allah daging dan darahnya. Tetapi yang sampai kepada-Nya hanyalah ketakwaanmu” (QS. Al-Hajj: 37).

Jadi, berkurban tidak sekedar ritual persembahan untuk meningkatkan spiritual kita, tetapi juga untuk memperkuat kepekaan dan kepedulian sosial kita. Idul Adha adalah sebuah ibadah untuk mendekatkan diri kita kepada Allah, dengan cara mendekatkan diri kita kepada sesama manusia. Bila ibadah puasa mengajak kita merasakan lapar seperti orang-orang miskin, maka ibadah kurban mengajak mereka untuk merasakan kenyang seperti kita.
Berkurban perlu dimaknai secara lebih luas. Berkurban tidak hanya berhenti dengan penyembelihan seekor kambing atau sapi saja, tetapi segala hal yang kita miliki. Mulai dari perhatian, cinta kasih, kesabaran, tenaga, pikiran, dan lain sebagainya. Maka, bagi orang-orang kaya, arti berkurban bisa berarti berbagi harta, bagi kaum cendikia berkurban berarti membagi sumbang saran dan pikiran, bagi pemilik kekuasaan, berburban berarti memperbaiki kebijakan untuk kemaslahatan umat, sedangkan bagi yang emosional berkurban berarti kesabaran.
Makna ibadah kurban sejatinya adalah menyembelih segala kendala yang menghalangi “perjalanan” kita menuju Allah, yang membuat hati tuli terhadap nilai-nilai etika dan agama. Pendeknya, pada saat kita menyembelih binatang kurban di hari raya ini, hendaknya kita juga “menyembelih” sifat kebinatangan dalam diri kita sendiri; rasa egois, sifat tamak, rakus, juga cinta berlebih terhadap harta dan kekuasaan kita. Kita tidak bisa langsung mendekatkan diri kepada Allah, kecuali setelah memenggal sesuatu; harus ada yang diputus, yaitu elemen-elemen yang menghambat diri untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt.

Allahu Akbar Allahu Akbar Allahu Akbar Walillahi Hamd
Peristiwa yang dialami oleh Nabi Ibrahim as. dan putranya, Ismail as. serta ketabahan istrinya, Hajar, memberikan contoh dan suri tauladan kepada kita betapa pentingnya fungsi iman bagi kehidupan keluarga agar kita menempatkan kewajiban taat kepada Allah di atas segala-galanya. Artinya, ketaatan kepada Allah harus diletakkan di atas kecintaan seorang ayah terhadap anak, istri, dan kecintaan terhadap harta, jabatan, kesenangan dan kebanggaan lainnya.
Pekik dan gema takbir (Allah Yang Maha Besar) mesti dipahami, sekali kita berketetapan bahwa hanya Allah yang maha besar, dan yang lainnya menjadi kecil. Maka di hari raya ini, marilah kita perbanyak bertakbirlah, bertahlil, dan bertahmid! Mari kita gunakan sebagian harta yang kita miliki untuk berkurba. Rizki yang kita makan akan menjadi kotoran. Rizki yang kita pakai akan menjadi benda usang, dan rizki yang didermakan, itulah yang akan abadi dan bernilai di hadapan Allah Swt. Selamat berkurban, semoga kurban kita merupakan cerminan dari cinta kita kepada Allah, sehingga Allah akan membalas cinta-Nya dengan pahala dan keridlaan-Nya. Amin Ya Rabbal Alamin

MENGENAL KAMUS ARAB-INDONESIA MAHMUD YUNUS

Kamus Arab-Indonesia Mahmud Yunus
H. Ilyas Rifai, MA.

Pendahuluan
Agama Islam adalah agama yang sangat kental dengan pemakaian bahasa Arab. Hal ini kita pahami, dimana bahasa Arab dipakai dalam banyak aktifitas kaum Muslimin, dalam ibadah khususnya dan dalam mempelajari dan mendalami ajaran-ajaran Islam pada umumnya. Seperti ketika kita shalat, berpuasa, berhaji, berwudlu, dan ibadah-ibadah lainnya. Oleh karena itu, bahasa Arab sangatlah penting untuk kita pelajari, kita pahami dan kita ajarkan, karena mempelajari kaidah bahasa Arab merupakan sarana untuk dapat memahami ajaran-ajaran Islam.
Belajar bahasa asing termasuk bahasa Arab memerlukan alat penunjang yang antara lain adalah kamus. Barangkali kesulitan-kesulitan yang terjadi dalam pembelajaran bahasa Arab dalam masalah kebahasaan dapat diatasi dengan bantuan kamus.
Sejarah perkamusan di Indonesia terus berkembang dari masa ke masa. Saat ini terdapat banyak ragam karya leksikografi yang berkembang, baik itu termasuk kamus eka bahasa, dwibahasa, bahkan multi bahasa. Salah satu kamus yang banyak digunakan oleh para pelajar bahasa Arab di Indonesia adalah Kamus Arab-Indonesia karangan Mahmud Yunus yang lebih dikenal dengan sebutan Kamus Mahmud Yunus. Pada makalah ini penulis mencoba untuk mengungkap lebih jauh tentang sejarah kamus Arab-Indonesia tersebut, biografi Mahmud Yunus, serta karakteristik kamusnya, dengan harapan mudah-mudahan pembahasan ini akan menambah wawasan kita khususnya tentang kamus Arab-Indonesia. Namun sebelum itu, untuk lebih memantapkan pembahasan ini, perlu kiranya penulis paparkan sekilas tentang hakikat kamus.

Sekilas tentang Hakikat Kamus
Arti Kamus. Kata ”kamus” bukanlah bahasa Indonesia asli, melainkan diserap dari bahasa Arab ”qamus” dengan bentuk jamaknya ”qawamis”. Kata ini pun pada dasarnya berasal dalam bahasa Yunani ”okeanus” yang berarti ”lautan”. Kamus merupakan buku acuan yang memuat kata dan ungkapan, biasanya disusun menurut abjad berikut keterangan tentang makna, pemakaian dan terjemahannya.
Kamus berguna membantu para pemakai untuk mengenal kata-kata baru berikut maknanya. Selain menerangkan makna kata, kamus juga memuat cara-cara mengungkapkan kata tersebut, menerangkan asal kata serta memberikan contoh-contoh penggunaannya dalam masyarakat. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Samuel Johnson, penyusun Dictionary of the English Language, bahwa fungsi kamus adalah untuk memelihara kemurnian bahasa. Sedangkan Dr. Hamid Shadik Qatibi memandang kata kamus merupakan sinonim dari kata mu’jam dan memiliki fungsi-fungsi sebagai berikut: 1) menemukan makna sebuah kata, 2) menetapkan pelafalan dan cara pengucapan, 3) menetapkan ejaan, 4) menelusuri asal usul sebuah kata, 5) membedakan antara kata yang tak lazim dan tak terpakai serta menjelaskan kata-kata yang murni dan serapan, 6) mengetahui sinonim dan antonim, 7) penggunaan kata-kata sastra dan peribahasa, 8) pengetahuan yang bersifat ensiklopedis.
Macam-macam Kamus. Secara umum, macam-macam kamus dapat dilihat dari beberapa segi antara lain: ruang lingkup isinya, penggunaan bahasanya, sifatnya, ukurannya dan ciri khususnya. Berdasarkan ruang lingkup isinya, kamus terbagi menjadi kamus umum dan kamus khusus. Kamus umum adalah kamus yang memuat segala macam topik yang ada dalam sebuah bahasa, sedangkan kamus khusus hanya memuat kata-kata dari suatu bidang tertentu. Kamus khusus ini memiliki beberapa jenis antara lain: 1) kamus istilah, yakni kamus yang menjelaskan istilah-istilah khusus dalam bidang tertentu, 2) kamus etimologi, yaitu kamus yang menerangkan asal usul suatu kata, 3) kamus peribahasa, yaitu kamus yang menerangkan maksud suatu peribahasa, 4) kamus kata nama khas, yaitu kamus yang hanya menyimpan kata-kata khas (nama tempat, nama tokoh, nama institusi, dll.).
Berdasarkan sifatnya, kamus terbagi kepada kamus standar dan kamus non-standar. Kamus standar adalah kamus yang diakui dan memuat kata-kata yang standar dalam suatu bahasa, sedangkan kamus non-standar yaitu kamus yang memuat kata-kata yang bukan standar.
Berdasarkan penggunaan bahasanya, kamus terbagi tiga macam, yaitu kamus ekabahasa, kamus dwibahasa, dan kamus multibahasa. Kamus ekabahasa adalah kamus yang hanya menggunakan satu bahasa saja. Kata-kata (entry) yang dijelaskan dan penjelasannya terdiri dari bahasa yang sama. Kamus dwibahasa adalah kamus yang menggunakan dua bahasa, yakni kata masukan yang ada dalam kamus diberi padanan atau maknanya dalam bahasa lain. Sedangkan kamus multibahasa adalah kamus yang sekurang-kurangnya menggunakan tiga bahasa atau lebih.
Sedangkan berdasarkan sifatnya, kamus terbagi ke dalam kamus mini, kamus kecil, dan kamus besar. Kamus mini sering disebut dengan kamus saku, karena bentuknya yang kecil dan bisa diisimpan di dalam saku, biasanya tebalnya kurang dari 2 cm. Kamus kecil memiliki ukuran yang tidak terlalu besar, tetapi lebih besar daripada kamus saku. Kamus ini memiliki sifat bisa dibawa ke mana-mana. Sementara kamus besar biasanya dapat memuat segala leksikal yang terdapat dalam suatu bahasa. Setiap kata yang dijelaskan maksudnya secara lengkap dan biasanya ukurannya besar dan sulit untuk dibawa ke mana-mana.

Biografi Mahmud Yunus
Mahmud Yunus dilahirkan di desa Sungayang, Batusangkar, Sumatra Barat, tepatnya pada hari Sabtu 10 Pebruari 1899 (30 Ramadlan 1361). Beliau merupakan salah seorang pembaharu pengajaran bahasa Arab di Indonesia. Ia lahir dari keluarga tokoh agama yang cukup terkemuka. Ayahnya bernama Yunus bin Incek, sedangkan ibunya bernama Hafsah binti Imam Samiun yang merupakan anak Engku Gadang M. Tahir bin Ali, seorang ulama besar di Sungkayang Batusangkar.
Sejak kecil, Mahmus Yunus dididik dalam lingkungan agama. Dia tidak pernah masuk di sekolah umum. Ketika menginjak usia tujuh tahun (1906), ia mulai belajar al-Quran serta ibadah lainnya. Gurunya adalah kakeknya sendiri, yaitu M. Thahir. Ia sempat menimba ilmu selama tiga tahun di sekolah desa, tahun 1908. Namun saat duduk di kelas IV, dia merasa tidak betah lantaran seringnya pelajaran kelas sebelumnya diulangi. Dia pun memutuskan untuk pindah ke madrasah yang berada di Surau Tanjung Pauh yang bernama Madras School, asuhan Syeikh HM. Thalib Umar, seorang tokoh pembaharu Islam di Minangkabau. Berkat ketekunan dalam waktu empat tahun saja, Mahmud Yunus telah sanggup mengajarkan beberapa kitab, antara lain Mahalli, al-Fiyah, dan Jam’ul Jawami’. Dan melalui karya-karya gurunya itu, Mahmud dapat menyerap semangat pembaharuan yang dibawa.
Saat Mahmud belajar di Madras School antara tahun 1917-1923, di Minangkabau tengah tumbuh gerakan pembaharuan Islam yang dibawa oleh para alumni Timur Tengah. Umumnya pembaharuan Islam terwujud dalam dua bentuk; pirifikasi dan modernisasi. Adapun gerakan yang dilakukan oleh para alumni adalah gerakan purifikasi, yakni gerakan untuk mengembalikan Islam ke zaman awal Islam dan menyingkirkan segala tambahan yang datang dari zaman setelahnya.
Mahmud Yunus mulai terlibat dalam gerakan pembaharuan saat berlangsungnya Rapat Besar Ulama Minangkabau tahun 1919 di Padang panjang. Dia diminta untuk mewakili gurunya. Pertemuan itu secara langsungmaupun tidak langsung memperngaruhi pola pemikiran pembaharuan Mahmud Yunus, terutama berkat pandangan-pandangan yang dikemukakan sejumlah tokoh pembaharu seperti Abdullah Ahmad serta Abdul Kamir Amrullah (Hamka). Bersama staf pengajar lainnya yang aktif di gerakan pembaharuan, tahun 1920 Mahmud membentuk Perkumpulan Pelajar Islam di Sungayang yang bernama Sumatra Thawalib. Salah satu kegiatan kelompok ini adalah menerbitkan Majalah Al-Basyir dengan Mahmud Yunus sebagai pemimpin redaksinya. Interaksi yang kian intens dengan gerakan pembaharu, mendorongnya untuk menimba ilmu lebih jauh di Mesir.
Berkat kegigihannya, Mahmud Yunus akhirnya dapat menimba ilmu ke Al-Azhar, Kairo, Mesir tahun 1924. Di sana ia mempelajari ilmu ushul fiqih, ilmu tafsir, fiqih Hanafi, dan sebagainya. Mahmud Yunus adalah seorang mahasiswa yang cerdas. Hanya dalam tempo satu tahun, ia berhasil mendapatkan Syahadah Alimiyah (Akta Mengajar) dari Al-Azhar dan menjadi orang Indonesia kedua yang memperoleh predikat itu. Sekalipun sudah mendapatkan ijazah, namun beliau merasa belum cukup dengan apa yang telah diperolehnya lantaran peningkatan pengetahuan umumnya belum terpenuhi. Dia pun berkeinginan untuk menajutkan studinya ke Madrasah Darul Ulum yang memang mengajarkan pengetahuan umum. Mahmud Yunus kemudian meneguhkan diri untuk mengikuti seluruh persyaratan yang diminta dan terbukti mampu memenuhinya. Dia dimasukkan sebagai mahasiswa di kelas bagian malam. Semua mahasiswanya berkebangsaan Mesir kecuali Mahmud Yunus. Dia tercatat sebagai orang Indonesia pertama yang masuk di Darul Ulum, Kairo.
Tahun 1929, dia mendapat Ijazah Diploma Guru dengan spesialisasi bidang Ilmu Pendidikan. Setelah itu, dia kembali ke kampung halamannya di Singayang, Batusangkar. Gerakan pembaharuan di Minagkabau saat itu semakin berkembang. Hal ini sangat menggembirakan Mahmud Yunus. Pada tahun 1931, ia pun mendirikan dua Lembaga Pendidikan Islam di Padang. Di dua lembaga inilah ia menertapkan pengetahuan dan pengalamannya yang didapai di Darul Ulum, Kairo. Dua penekanan dalam pembaharuan Mahmud Yunus di lembaga pendidikanya yakni pengenalan pengetahuan umum dan pembaharuan pengejaran bahasa Arab. Pengajaran pengetahuan umum di sekolahnya sebenarnya tidaklah baru, tahun 1909 Abdullah Muhammad sedah mengajarkan ilmu berhitung dan bahasa Eropa di Adabiyah School. Sementara Mahmud menambahkan beberapa pelajaran umum semisal ilmu alam, hitung dagang, dan tata buku.
Profesi sebagai guru semenjak masih menjadi pelajar di Surau Tanjung Pauh sudah ia geluti. Kemampuannya bahkan semakin menonjol terutama setelah ia kembali dari Mesir. Secara terus menerus Mahmud Yunus mengajar dan memimpin berbagai lembaga pendidikan, yakni pada al-Jami’ah al-Islamiyah Batusangkar (1931-1932), Kulliyah Mu’allimin Islamiyah Normal Islam Padang (1932-19460, Akademi Pamong Praja di Bukit Tinggi (1948-1949), Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA) Jakarta (1957-1980), menjadi Dekan dan Guru Besar pada Fakultas Tarbiyah IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta (1960-1963), Rektor IAIN Imam Bonjol Padang (1966-1071). Atas jasa-jasanya di bidang pendidikan ini, pada 15 Oktober 1977, Mahmud Yunus memperoleh gelar Doctor Honoris Causa di bidang Ilmu Tarbiyah dari IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Banyak tulisan yang yelah dihasilkan oleh Mahmud Yunus dalam berbagai bidang, seperti pendidikan, bahasa Arab, fiqih, ushul fiqih, tafsir, akhlak, sejarah, perbandingan agama, ilmu jiwa, dakwah, yang ia tulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Arab. Sejak awal tahun 1970, kesehatan Mahmud Yunus mulai menurun, dan sering bolak-balik masuk rumah sakit. Akhirnya, pada tanggal 18 Januari 1983, dalam usia 83, beliau berpulang ke Rahmatullah di kediamannya, kelurahan Kebon Kosong, Jakarta Pusat, dan dimakamkan di pemakaman IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Adapun karya-karya Mahmud Yunus antara lain:
1. Akhlak, untuk Aliyah
2. Alif Ba Ta wa Juz Amma
3. Allah dan Mahluk-Nya: Ilmu Tauhid menurut Al-Quran
4. Al-Mukhtarat li al-Muthala’ah wa al-Mahfudzat
5. At-Tarbiyah wa at-Ta’lim
6. Beberapa Kisah Pendek, untuk SD
7. Beriman dan Berbudi Pekerti, untuk SD
8. Dasar-dasar Negara Islam
9. Do’a-do’a Rasulullah, untuk Tsanawiyah
10. Haji ke Mekkah, untuk SD
11. Hukum Perkawinan dalam Islam, 4 Mazhab.
12. Hukum Warisan dalam Islam, untuk Aliyah
13. Ilmu Jiwa Kanak-kanak
14. Ilmu Mushthalahul Hadits, bersama H. Mahmud Aziz
15. Ilmu Perbandingan Agama
16. Juz Amma dan Terjemahnya
17. Kamus Arab-Indonesia
18. Kesimpulan Isi Al-Quran, untuk Muballigh/Umum
19. Kumpulan Do’a
20. Lagu-lagu Pendidikan Agama/Akhlak, bersma Kasim St. M. Syah
21. Mabadi al-Fiqhu al-Wadhih
22. Manasik Haji untuk Orang Dewasa
23. Marilah ke Al-Quran, untuk Tsanawiyah/PGA bersama H. Ilyas M. Ali
24. Metodik Khusus Bahasa Arab, Fak. Tarbiyah/PGAA
25. Metodik Khusus Pendidikan Agama, Fak. Tarbiyah/PGAA
26. Moral Pembangaunan dalam Islam, untuk Aliyah
27. Muhadatsah al-Arabiyyah
28. Muhadharat al-Israiliyyat fi at-Tafsir wa al-Hadits
29. Pedoman Dakwah Islamiyyah
30. Pelajaran Huruf Al-Quran
31. Pelajaran Sembahyang untuk Orang Dewasa
32. Pendidikan di Negara-negara Islam dan Intisari Pendidikan Barat
33. Pengetahuan Umum Ilmu Mendidik, bersama St. M. Said
34. Pokok-pokok Pendidikan dan Pengajaran, Fak. Tarbiyah/PGAA
35. Puasa dan Zakat, untuk SD
36. Riwayat Rasul Dua Puluh Lima, bersama Rasyidin/Zubir Usman
37. Sejarah Islam di Minagkabau
38. Sejarah Pendidikan Islam
39. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia
40. Soal Jawab Hukum Islam
41. Surat Yasin dan Terjemahannya (Arab Melayu)
42. Tafsir Al-Fatihah
43. Tafsir al-Quran (30 juz)
44. Tafsir Ayat Akhlak
45. Terjemah Tafsir al-Quran
46. Tarikh al-Fiqhu al-Islami
47. Tarikh al-Islam
48. Al-Adyan
49. Mudzakarat Ushul al-Fiqh
50. Durus at-Tauhid
51. Ilmu an-Nafs
52. Beberapa Kisah Nabi dan Khalifahnya
53. Asy-Syuhuru al-Arabiyyah fi Biladi al-Islamiyyah
54. Khulashah Tarikh al-Ustaz Mahmud Yunus
55. Durus al-Lughah al-Arabiyyah ’ala Thariqati al-Haditsah Jilid 1-2
56. Kamus al-Quran Jilid 1-2
57. Al-Fiqhu al-Wadhih Jilid 1-3
58. Durus al-Lughah al-Arabiyyah Jilid 1-3
59. Pemimpin Pelajaran Agama Jilid 1-3, untuk SMP
60. Keimanan dan Akhlak Jilid 1-4, untuk SD
61. Marilah Sembahyang Jilid 1-4, untuk SD
62. Pelajaran Bahasa Arab Jilid 1-4.

Kamus Mahmud Yunus
Sebelum menyusun Kamus Arab-Indonesia, pada tahun 1930 saat Mahmud Yunus menuntut ilmu di Al-Azhar Kairo, beliau sempat menyusun kamus yang dinamai Kamus al-Zahabi. Kamus ini adalah kamus Arab-Melayu dan bisa dikatakan bahwa kamus Mahmud Yunus merupakan kamus pertama yang dihasilkan oleh putra Indonesia. Sementera kamus Arab-Indonesia Mahmud Yunus baru beliau susun pada tahun 1972. Kamus ini disusun saat Mahmud Yunus telah kembadi dari Mesir.
Penyusunan kamus ini dilatarbelakangi oleh tuntutan dari masyarakat, guru-guru dan para pelajar agar mencentek ulang kamus Zahabi supaya dapat membantu mereka dalam belajar bahasa Arab. Namun dengan beberapa pertimbangan, penyusun keberatan untuk mencetak ulang kamua al-Zahabi karena dirasa banyak kekurangannya. Hal inilah yang mendorong beliau untuk menyusun kamus Arab-Indonesia. Keputusan Mahmud Yunus untuk menyusun kamus Arab-Indonesia tampaknya tepat sebagai pengganti untuk mencetak kamus Arab-Melayu, dimana saat itu masyarakat Indonesia sudah hidup dalam alam kemerdekaan dan telah menetapkan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi negara dan bahasa nasional. Dan hampir seluruh pelajar di seluruh pelosok nusantara mengenal dan menggunakan kamus ini. Karena ukurannya yang sedang dan ringan memudahkannya untuk dibawa ke mana-mana.

Sistematika Kamus Mahmud Yunus
Dalam penyusunan kamus ini, penyusun menyajikan pendahuluannya dengan bahasa Indonesia yang memakai huruf Latin. Kamus ini secara umum cocok digunakan untuk para pemula dan siapa saja yang hendak belajar bahasa Arab, meskipun mereka belum mahir dlam ilmu sharaf. Dalam kamus ini, selain berisi kata-kata Arab baru, diterangkan juga tafsir-tafsif sulit yang tidak dapat diketahui dengan kaidah-kaidah (wazan-wazan) ilmu sharaf, melainkan harus dihafal dan didengar dari orang Arab asli (kata-kata sama’i).
Dalam susunannya, kamus ini menetapkan lema (entry) dalam bentuk fi’il madhi, sehingga pencarian kata dalam bentuk apapun harus dikembalikan ke dalam bentuk asalnya (fi’il madhi). Misalnya kalau ingin mencari kata دَرْسٌ, مُدَرِّسٌ, atau مَدْرَسَةٌ, maka pencarian kata tersebut harus berangkat dari entri دَرَسَ. Sehingga penguna kamus (pelajar) tidak menjadi kesulitan dengan pola seperti ini walaupun mereka belum mempelajari ilmu sharaf. Menurut Mahmud Yunus, yang memudahkan bahasa Arab adalah karena bahasa itu mempunyai wazan-wazan (neraca, timbangan). Apabila wazan-wazan itu dihafal, maka dapat diketahui kata-kata lain dengan cara mengkiaskan dan mencontohkan kepada wazan itu.
Bahasa lema kamus ini adalah bahasa Arab dan bahasa penjelasnya adalah bahasa Indonesia. Kamus ini ukurannya sedang dan ringan sehingga mudah untuk digunakan dan dibawa ke mana-mana. Sebegai pelengkap, pada kamus ini terdapat kosa kata bergambar yang disajikan menurut kelompok katanya. Hal ini dapat membantu para pelajar untuk belajar bahasa Arab secara visual tanpa perlu menghafalkan mufradat dan dapat membedakan satu makna kata dengan makna lainnya, contoh dalam kata كِتابٌ dan سَبُّورَةٌ. Kosa kata bergambar ini terletak antara pendahuluan dan bab alif sebagaimana dalam kamus al-Marbawi.
Sebagai pelengkap lainnya, pada bagian akhir kamus ini dilengkapi dengan Cara Penggunaan Kamus, Daftar Kata-kata Singkatan, dan Daftar Pustaka yang menjadi rujukan kamus tersebut.

Karakteristik Kamus Mahmud Yunus
Kamus Mahmud Yunus memiliki beberapa karakterisatik, antara lain:
1. Menyebutkan fi’il dan mashdar-nya
Contoh: melayani خَدَمَ يَخْدُمُ خِدْمَةً (Mahmud Yunus: 114)
2. Menjelaskan dua arti, yakni arti sharaf dan arti kamus
Contoh: penduduk (yang mendiami) سَاكِنٌ (Mahmud Yunus: 174)
3. Adanya penambahan na’at dan idhafat
Contoh: sekolah rendah مَدْرَسَةٌ اِبْتِدَائِيَّةٌ
sekolah SMP مَدْرَسَةٌ إِعْدَارِيَّةٌ
sekolah SMA مَدْرَسَةٌ ثَانَوِيَّةٌ
penjaga sekolah خَادِمُ المَدْرَسَةِ
kelas sekolah فَصْلُ المَدْرَسَةِ
direktur sekolah مُدِيْرُ المَدْرَسَةِ (Mahmud Yunus: 126)
4. Menyebutkan macam-macam makna kata sesuai konteks
Contoh: mengajak (kepada) دَعَا إِلَى
mendo’akan kejahatan دَعَا عَلَيْهِ
mendo’akan kebaikan دَعَا لَهُ (Mahmud Yunus: 127)
5. Menyebutkan satu kata dalam beberapa wazan
Contoh: mengetahui sesuatu عَلِمَ
mengajarkan, melatih عَلَّمَ
memberi tahu أَعْلَمَ
belajar, mengaji تَعَلَّمَ
meminta mengetahui اِسْتَعْلَمَ (mahmud Yunus: 277)
6. Menyebutkan sinonim (mutaradif)
Contoh: melatih عَلَّمَ (هَذَبَ) (Mahmud Yunus: 277)
7. Menyebutkan bentuk jama’ taksir-nya
Contoh: ilmu pengetahuan عِلْمٌ جـ عُلُوْمٌ
yang berilmu, alim عَالِمٌ جـ عُلَمَاءُ (Mahmud Yunus: 278)
8. Menyebutkan muannats-nya
Contoh: yang menuntut, yang meminta طَالِبٌ م طَالِبَةٌ (Mahmud Yunus: 238)

Sumber-sumber Kamus Mahmud Yunus
Dalam menyusun kamus Arab-Indonesia ini, Mahmud Yunus merujuk kepada beberapa kamus sebelumnya, antara lain:
1. Al-Mishbah al-Munir, Ahmad al-Muqri
2. Al-Mu’jam al-Washith, Majma al-Lughah al-Arabiyah
3. Al-Mufradat fi Gharib al-Quran, Al-Raghib al-Ashfahani
4. Al-Qamus al-Ashri, Elias A. Elias
5. Kalimat al-Quran, Hasanain M. Makhluf
6. Kamus al-Zahabi, Mahmud Yunus/HMK Bakry
7. Kamus Arab-Melayu, Muhd. Fadhlullah/Th. Brondgeet
8. Kamus Idris al-Marbawi, Mhd Idris al-Marbawi
9. Kamus Modern Bahasa Indonesia, St. Mohd. Zain
10. Kamus Umum Bahasa Indonesia, WJS Poerwadarminta
11. Kamus Umum Inggris-Indonesia, S. Wojosawito dkk.

Kesimpulan
Kamus merupakan penopang utama dalam belajar bahasa Arab. Kamus berguna membantu para penggunanya untuk mengenal kata-kata baru, maknanya, serta penjelasan-penjelasan lainnya yang berkaitan dengan suatu kata.
Kamus Kamus Arab-Indonesia Mahmud Yunus adalah kamus Arab-Indonesia yang pertama disusun oleh orang Indonesia pada tahun 1972. Kamus ini disusun sekembalinya beliau menuntut ilmu di Universitas Al-Azhar Kairo. Kamus ini merupakan penyempurna dari kamus Arab-Melayu Az-Zahabi yang beliau susun sebelumnya. Kamus Arab-Indonesia ini adalah kamus yang sangat populer di kalangan pelajar bahasa Arab di Indonesia, di samping mudah dalam menggunakannnya, juga karena ukurannya yang sedang sehingga mudah untuk dibawa ke mana-mana sehingga tidak heran apabila hampir seluruh pelajar di seluruh pelosok nusantara mengenal dan menggunakan kamus ini. Sekalipun kamus ini sudah lama tetapi hingga saat ini belum berhenti di cetak karena masih banyaknya peminat dan pengguna kamus ini.

Referensi
Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, Hidakarya Agung, Jakarta, 1990.
Moh. Mansyur & Kustiwan, Dalil al-Katib wa al-Mutarjim: Pedoman bagi Penerjemah Arab-Indonesia Indonesia-Arab, Asma Publishers, Jakarta, 2002
Syarif Hade Masyah, Teknik Menerjemah Teks Arab 1, Trans Pustaka, Tangerang, 2005.
Syihabudin, Penerjemahan Arab Indonesia: Teori dan Praktek, Humaniora, Bandung, 2005.

http://irhashshamad.blogspot.com/2008/12
http://pusat-akademik.blogspot.com/2208/10
http://muslim.or.id
http://jaguarspsuinjkt.blogspot.com/2008/11/sejarah-perkamusan-i-indonesia.html

PERKEMBANGAN ILMU NAHWU

PERKEMBANGAN ILMU NAHWU

Adalah bangsa Arab dahulu pada masa Jahiliyah mendiami jazirah Arab, yang mana mereka tidak bercampur dengan bangsa-bangsa Ajam (bukan Arab) melainkan hanya terkadang saja. Dan yang demikian mengakibatkan fasihnya dialek mereka dalam bahasa Arab, dan kuatnya mereka dalam menerangkan bahasa Arab, serta jauhnya mereka dari kesalahan berbicara dan penyimpangan dalam bahasa Arab.
Dan adalah suku Quraisy menempati kedudukan yang mulia, yang menjadikan mereka pemuka bagi kabilah-kabilah Arab lainnya. Suku Quraisy-lah yang memonopoli pelayanan terhadap Ka’bah. Dan bangsa Arab pergi menunaikan haji ke Ka’bah setiap tahun untuk tujuan ekonomi, seperti berdagang, saling tukar menukar barang dagangan dan juga tujuan-tujuan kesusasteraan, seperti menyaksikan perkumpulan ahli pidato dan syair di pasar-pasar “Ukadz”dan “majnah” dan “Dzil Majaz”.
Tempat-tempat itulah, tempat dimana para penyair dan ahli pidato dari seluruh penjuru bangsa Arab bertemu untuk membangga-banggakan keturunan, berlomba dalam berpidato, saling bersyair, serta berhukum kepada orang-orang yang mulia dari kalangan penyair dan ahli pidato, agar mereka menetapkan keputusan atau menghukumi mereka. Dan dari kalangan mereka terdapat seorang hakim yang masyhur yang bernama “Adz Dzibyani”, yang mana keputusannya ditaati dan tidak ditolak.
Dan sungguh suku Quraisy dengan aspek-aspek pendorong yang diberikan kepada mereka ini, mampu untuk menjadi suku atau qabilah yang paling bersih dialeknya dan paling fasih bahasa mereka, serta paling mencukupi penjelasannya. Maka dialek Quraisy menguasai atas segala dialek-dialek bahasa Arab.
Para ahli sastra pun berlomba-lomba mempergunakan dialek Quraisy, sehingga tersebarlah dialek itu diseluruh penjuru jazirah Arab, dan hal ini adalah yang memperkenankan diturunkannya Al Qur’an dengan dialek Quraisy.
Ketika “bersinar” matahari Islam atas jazirah Arabiyyah, dan manusia masuk dalam agama Allah dengan berbondong-bondong, (hal ini) mengharuskan bangsa Arab untuk tersebar di permukaan bumi serta berhubungan dengan manusia, bercampur dengan bangsa selain Arab diseluruh penjuru negeri yang ditaklukkan oleh kaum muslimin.
Dimana dahulu (kaum muslimin) adalah “Mujahidin” (pejuang-pejuang agama) yang mana mereka bergerak dengan “dakwah yang baru” ke seluruh penjuru alam. Dan sungguh (hal ini) menimbulkan hubungan erat dengan penduduk negeri-negeri (yang ditaklukkan oleh kaum muslimin). Dan merekapun saling tukar-menukar barang-barang perdagangan. Lalu mereka pun menikahi (penduduk-penduduk negeri yang ditaklukkan itu), maka tumbuhlah generasi baru dari anak-anak yang terlahir yang tidak mampu “mengikat” lidah mereka (dengan bahasa Arab), dari sinilah kefasihan dan kelancaran bahasa Arab , dan tabiat mereka rusak, hingga mucullah “kesalahan pengucapan bahasa Arab”, kemudian memencar dan bertambah luaslah (kesalahan pengucapan bahasa Arab ini) hingga mencemaskan dan menggelisahkan “Mereka yang punya rasa cemburu” pada kefasihan bahasa Arab, dan menggoncangkan jiwa-jiwa mereka.
Dan Ibnul Atsir menyebutkan contoh permisalan kesalahan pengucapan bahasa Arab. Contoh ini adalah yang menggiring (kita) untuk mengetahui sebab yang berhubungan dalam peletakkan ilmu Nahwu bahasa Arab. (Dikisahkan) bahwa Abul Aswad Adduali mendengar puterinya salah dalam pengucapan bahasa Arab, dimana puterinya berkata :
“ Ma ajmalas sama i? (“Apakah yang terindah dilangit?”)
(puterinya salah meletakkan harokat huruf)
Lalu Abul Aswad pun menjawab sesuai dengan pertanyaannya : “Yang terindah adalah bintang-bintangnya”. Maka berkatalah puterinya: “Saya tidak bermaksud menanyakan yang terindah dilangit, tetapi yang saya maksudkan adalah saya kagum dengan apa yang ada dilangit !” kemudian berkatalah Abul Aswad kepada putrinya: (kalau itu yang kamu maksudkan) katakanlah:
Ma ajmalas sama a? (“Alangkah indahnya langit!)
Lalu hal ini mendorong Abul Aswad untuk berfikir untuk meletakkan kaidah-kaidah nahwu.
Dan kita mendapatkan faedah disini, bahwa yang meletakkan kaidah nahwu adalah Abul Aswad Adduali, baik itu dengan petunjuk dari Ali bin Abu Thalib atau dicetuskan oleh dirinya sendiri, dan pada sebagian riwayat Umar bin Khatab-lah yang memerintahkan Abul Aswad untuk meletakkan kaidah nahwu, dan pada riwayat lainnya yang memerintahkan adalah Ziyad.
Akan tetapi bagaimana Abul Aswad memulai meletakkan kaidah ilmu nahwu? Atau dengan kata lain yang lebih tepat, bagaimanakah diletakkan kaidah ilmu nahwu?Abul Aswad memulai dengan mengharakati mushaf, ia letakkan titik dan tanda-tanda yang menunjukkan harakat-harakat yang berbeda-beda.
Kemudian (muncullah) gerakan untuk mengarang kaidah nahwu berturut-turut sesudah itu. Dimulainya gerakan ini dengan pengaruh sebagian masalah-masalah nahwu sekitar ayat-ayat Al Qur’an dan bait-bait syair, (dan dikatakan bahwa Isa bin Tsaqafi yang wafat tahun 149 H telah mengumpulkan masalah-masalah itu dalam dua kitab yang ia berinama: “al-Jami’ dan “al-Ikmal” akan tetapi kedua kitab ini tidak sampai sedikitpun kepada kita).
Kemudian datang sesudah itu al-khalil bin Ahmad al-farahidi al-Busairi yang wafat pada tahun 175 H. Ia mempunyai teori yang detail dalam ilmu nahwu, serta ilmu yang luas. Dan ia meneliti dan menyimpulkan lebih luas pada nash-nash dan dalil-dalil penguat yang lebih banyak dari para pendahulunya. Ia banyak meletakkan kaidah pokok-pokok dari ilmu nahwu sampai mendekati uslub-uslub (cara-cara) yang kita membaca (bahasa arab) saat ini. Akan tetapi ia tidak meninggalkan satu karangan pun tentang ilmu nahwu, dan hanyalah ia memberitahukan ringkasan pemikirannya kepada muridnya yang mashur yang bernama “Sibawih”yang mengumpulkan ilmu gurunya dalam ringkasan-ringkasan pendapatnya dan pendapat-pendapat ahli yang hidup semasanya.
Dia susun pendapat-pendapat tentang ilmu nahwu itu semuanya, dan ia kumpulkan dalam kitabnya yang bernilai tinggi yang bernama “al-Kitab”, yang mendapatkan pengakuan dan kepercayaan para ulama. Dan tersebarlah kitab itu keseluruh dunia dan senantiasa tersebar hingga zaman kita saat ini memenuhi dunia dan menyibukkan manusia, hingga dikatakan “Barangsiapa yang belum membaca kitab Sibawih maka tidaklah pantas menjadi ahli nahwu” .
Asas pondasi pelajaran-pelajaran ilmu nahwu adalah al-Quranul-Karim, hadits Rasululullah, syair yang dipercayai kebenarannya, ucapan-ucapan bangsa Arab dan perjalanan (menuntut ilmu bahasa Arab) kepada mereka. Dan para ulama memikul beban dijalan ini dengan kesungguhan yang lama. Dan tidak semua kabilah-kabilah bangsa Arab tepat untuk diambil bahasa mereka, hal ini disebabkan dekatnya mereka dengan peradaban dan bercampur dengan orang Ajam (bukan bangsa Arab).
Adalah kabilah Qois, Tamim, Asad, Hudzail, dan sebagian kabilah Kinanah dan sebagian kabilah Thoi, termasuk dari kabilah-kabilah yang pantas dan dipercaya (untuk diambil ilmu bahasa Arabnya), (hal ini) karena jauhnya mereka dari tempat-tempat kesalahan pengucapan bahasa Arab, oleh karena itu ilmu bahasa Arab mereka diambil. Dan adalah Imam bahasa Arab “Imam syafii” pergi ke tempat Bani Hudzail dengan tujuan untuk belajar kepada mereka. Bani Hudzail adalah Kabilah yang paling fasih dalam berbahasa Arab. Beliau tinggal di tempat Bani Hudzail selama 17 tahun. Ditempat ini beliau banyak menghafal sya’ir-sya’ir, memahami secara mendalam sastra Arab dan berita-berita tentang peristiwa yang dialami oleh orang-orang Arab.(lihat siyar alamun Nubala)
Adapun kabilah himyar, lahm, judzam, dan kudho’ah, ghassan, iyad dan tsaqif bukanlah kabilah yang pantas untuk dipercaya (diambil ilmu bahasa Arab mereka) di sebabkan mereka tinggal berdampingan dengan orang-orang Ajam (bukan bangsa Arab). Dan muncul dan meresap dalam lisan-lisan mereka kesalahan pengucapan bahasa Arab, oleh karena itu para ulama menjauhinya dan tidak mengambil ilmu bahasa Arab dari mereka.
Diterjemahkan dan diringkas dari kitab Syarh Ibnu Aqil lil Alfiyah Ibnu Malik juz pertama
Maraji’:
Diterjemahkan dan diringkas dari kitab Syarh Ibnu Aqil lil Alfiyah Ibnu Malik juz pertama
Copyright : www.salafi.or.id

Sumber: http://kiflipaputungan.wordpress.com

SEJARAH PERKEMBANGAN ILMU NAHWU

SEJARAH PERKEMBANGAN ILMU NAHWU

Seperti halnya bahasa-bahasa yang lain, Bahasa Arab mempunyai kaidah-kaidah tersendiri di dalam mengungkapkan atau menuliskan sesuatu hal, baik berupa komunikasi atau informasi. Lalu, bagaimana sebenarnya awal mula terbentuknya kaidah-kaidah ini, dan kenapa dikatakan dengan istilah nahwu?. Simak artikel berikut.
Pada jaman Jahiliyyah, kebiasaan orang-orang Arab ketika mereka berucap atau berkomunikasi dengan orang lain, mereka melakukannya dengan tabiat masing-masing, dan lafazh-lafazh yang muncul, terbentuk dengan peraturan yang telah ditetapkan mereka, di mana para junior belajar kepada senior, para anak belajar bahasa dari orang tuanya dan seterusnya. Namun ketika Islam datang dan menyebar ke negeri Persia dan Romawi, terjadinya pernikahan orang Arab dengan orang non Arab, serta terjadi perdagangan dan pendidikan, menjadikan Bahasa Arab bercampur baur dengan bahasa non Arab. Orang yang fasih bahasanya menjadi jelek dan banyak terjadi salah ucap, sehingga keindahan Bahasa Arab menjadi hilang. Dari kondisi inilah mendorong adanya pembuatan kaidah-kaidah yang disimpulkan dari ucapan orang Arab yang fasih yang bisa dijadikan rujukan dalam mengharakati bahasa Arab, sehingga muncullah ilmu pertama yang dibuat untuk menyelamatkan Bahasa Arab dari kerusakan, yang disebut dengan ilmu Nahwu.
Adapun orang yang pertama kali menyusun kaidah Bahasa Arab adalah Abul Aswad Ad-Duali dari Bani Kinaanah atas dasar perintah Khalifah Sayidina Ali Bin Abi Thalib, KW.
Terdapat suatu kisah yang dinukil dari Abul Aswad Ad-Duali, bahwasanya ketika ia sedang berjalan-jalan dengan anak perempuannya pada malam hari, sang anak mendongakkan wajahnya ke langit dan memikirkan tentang indahnya serta bagusnya bintang-bintang. Kemudian ia berkata, مَا أَحْسَنُ السَّمَاءِ . “Apakah yang paling indah di langit?”. Dengan mengkasrah hamzah, yang menunjukkan kalimat tanya.
Kemudian sang ayah mengatakan, نُجُوْمُهَا يَا بُنَيَّةُ . “Wahai anakku, Bintang-bintangnya”.
Namun sang anak menyanggah dengan mengatakan, اِنَّمَا اَرَدْتُ التَّعَجُّبَ . “Sesungguhnya aku ingin mengungkapkan kekaguman”.
Maka sang ayah mengatakan, kalau begitu ucapkanlah, مَا اَحْسَنَ السَّمَاءَ . “Betapa indahnya langit”. Bukan, مَا اَحْسَنُ السَّمَاءِ . “Apakah yang paling indah di langit?”. Dengan memfathahkan hamzah…
****
Dikisahkan pula dari Abul Aswad Ad-Duali, ketika ia melewati seseorang yang sedang membaca al-Qur’an, ia mendengar sang qari membaca surat At-Taubah ayat 3 dengan ucapan, أَنَّ اللهَ بَرِىءٌ مِّنَ الْمُشْرِكِينَ وَرَسُولِهُ Dengan mengkasrahkan huruf lam pada kata rasuulihi yang seharusnya di dhommah. Menjadikan artinya “…Sesungguhnya Allah berlepas diri dari orang-orang musyrik dan rasulnya..”
Hal ini menyebabkan arti dari kalimat tersebut menjadi rusak dan menyesatkan.
Seharusnya kalimat tersebut adalah, أَنَّ اللهَ بَرِىءٌ مِّنَ الْمُشْرِكِينَ وَرَسُوْلُهُ “Sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari orang-orang musyrikin.”
Karena mendengar perkataan ini, Abul Aswad Ad-Duali menjadi ketakutan, ia takut keindahan Bahasa Arab menjadi rusak dan gagahnya Bahasa Arab ini menjadi hilang, padahal hal tersebut terjadi di awal mula daulah Islam.
Kemudian hal ini disadari oleh khalifah Ali Bin Abi Thalib, sehingga ia memperbaiki keadaan ini dengan membuat pembagian kata, bab inna dan saudaranya, bentuk idhofah (penyandaran), kalimat ta’ajjub (kekaguman), kata tanya dan selainnya, kemudian Ali Bin Abi Thalib berkata kepada Abul Aswad Adduali, اُنْحُ هَذَا النَّحْوَ “Ikutilah jalan ini”.
Dari kalimat inilah, ilmu kaidah Bahasa Arab disebut dengan ilmu nahwu. (Arti nahwu secara bahasa adalah arah). Kemudian Abul Aswad Ad-Duali melaksanakan tugasnya dan menambahi kaidah tersebut dengan bab-bab lainnya sampai terkumpul bab-bab yang mencukupi. Kemudian, dari Abul Aswad Ad-Duali inilah muncul ulama-ulama Bahasa Arab lainnya, seperti Abu Amru bin ‘alaai, kemudian al Kholil al Farahidi al Bashri (peletak ilmu arudh dan penulis mu’jam pertama) , sampai ke Sibawaih dan Kisai (pakar ilmu nahwu, dan menjadi rujukan dalam kaidah Bahasa Arab).
Seiring dengan berjalannya waktu, kaidah Bahasa Arab berpecah belah menjadi dua mazhab, yakni mazhab Basrah dan Kuufi (padahal kedua-duanya bukan termasuk daerah Jazirah Arab). Kedua mazhab ini tidak henti-hentinya tersebar sampai akhirnya mereka membaguskan pembukuan ilmu nahwu sampai kepada kita sekarang.
Demikianlah sejarah awal terbentuknya ilmu nahwu, di mana kata nahwu ternyata berasal dari ucapan Khalifah Ali bin Abi Thalib, sepupu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Referensi : Al-Qowaaidul Asaasiyyah Lil Lughotil Arobiyyah

Sumber: http://kiflipaputungan.wordpress.

SEJARAH FIQH AL-LUGHAH

SEJARAH FIQH AL-LUGHAH

1. a. Lahirnya Fiqh Al-Lughah
Nama fiqhu al-lughah sudah ada pada zaman dahulu, pembahasannya belum sempurna sebagaimana yang ada sekarang ini. Penamaan fiqhu al-lughah di mulai atas penamaan kitabnya abu mansur abdul malik bin muhammad ats-tsa’aalaby yang wafat pada tahun 429 H, yang bernama fiqhu al-lughah. Namun nama ini tidaklah sesuai dengan isinya dimana kesemuanya itu membahas tentang bahasa serta yang berkaitan dengannya. Namun, hanya sebuah pembahasan saja didalamnya yang berkaitan dengan judul bukunya yaitu hanya terdapat pada bab terahir yang berjudul sirrul a’rabiyah.
Kitab Ibnu Faris dan Tsa’labi dalam analisisnya sesuai dengan masalah kata-kata Arab. Maka objek fiqhullughah menurut mereka berdua adalah identifikasi kata-kata Arab dan makna-maknanya, klasifikasi katakata ini dalam topik-topik, dan kajian-kajian yang berkaitan dengan hal itu. Di samping itu, kitab Ibnu Faris mencakup seperangkat masalah teoretis sekitar bahasa. Di antara masalah yang paling menonjol adalah masalah lahirnya bahasa. Apabila para ulama telah berbeda pendapat tentang hal itu, lalu sebagian mereka melihatnya sebagai suatu istilah atau konvensi sosial, maka Ibnu Faris menolak pendapat ini dan ia menganggapnya sebagai tauqif, yaitu sebagai wahyu yang diturunkan dari langit. Objek bahasa dan objek keterkaitan bahasa dengan wahyu tidak termasuk dalam kerangka masalah-masalah linguistik modern karena tidak mungkin dikaji dua objek dengan kriteria-kriteria ilmiah yang akurat. Juga, kitab Tsa’labi mencakup bagian kedua, yaitu sirrul ‘Arabiyyah. Dalam bagian kedua Tsa’labi telah mengkaji sejumlah topik yang berkaitan dengan bangun kalimat bahasa Arab. Akan tetapi kedua pengarang itu bersepakat bahwa fiqhullughah adalah mengkaji makna kata-kata dan mengklasifikasikannya ke dalam topik-topik.
Ahmad bin Faris membatasi maksud fiqhullufhah dalam mukaddimah bukunya yang tersebut tadi. Lalu dia mengatakan bahwa ilmu bahasa Arab terbagi atas dua bagian: asal (pokok) dan far’i (cabang). Adapun Far’i adalah pengetahuan tentang isim dan sifat. Dan inilah yang dimulai ketika belajar. Adapun asal (pokok) adalah pembicaraan tentang topik, prioritas, dan sumber bahasa kemudian tentang tulisan Arab dalam dialog dan variasi seninya, baik secara hakiki maupun majazi.
1. b. Fiqh lughah klasik dan modern
Para ahli bahasa membatasi kajian fiqh lughah pada kajian bahasa yang tidak bergantung pada kaidah. Setelah islam muncul, barulah sempurna semua ilmu bahasa di kalangan bangsa arab. Fiqh al-lughah sendiri belum seperti penamaannya sekarang ini, dahulu fiqh-lughah di sebut dengan “Sunan al-Arabiy fi Kalamiha”.
Dengan alasan di atas kita bisa berkata bahwa fiqh al-lughah klasik itu baru berbentuk wacana dan belum mendapatkan kejelasan, sebab orang –orang pada zaman lalu mendapatkan pengetahuan hanya berupa berita yang dibicarakan dari telinga ke telinga. Dalam buku yang lain dijelaskan, Fiqh lughah klasik masih membicarakan persoalan asal mula bahasa, apakah ia pemberian tuhan atau adalah sebuah proses. Menurut ibnu Faris (wafat 385 H), berkata bahwa bahasa arab itu adalah pemberian langsung dari tuhan, berdasarkan pada dalil surah al-Baqarah ayat 31 yang berbunyi:
zN¯=tæur tPyŠ#uä uä!$oÿôœF{$# $yg¯=ä. §NèO öNåkyÎztä ’n?tã Ïps3Í´¯»n=yJø9$# tA$s)sù ’ÎTqä«Î6/Rr& Ïä!$yJó™r’Î/
ÏäIwàs¯»yd bÎ) öNçFZä. tûüÏ%ω»|¹
Dan Dia mengajarkan kepada Adam Nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada Para Malaikat lalu berfirman: “Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamang benar orang-orang yang benar!”.
Sedangkan pada sekarang ini (fiqh al-lughah modern) meneliti agar dapat mengetahui sumber bahasa, sejarah yang menyangkut aspek budaya, kajian bahasa dan hal inilah yang mencegah orang melakukan penyimpangan suatu ilmu dalam bahasa arab dan suatu makna dengan makna aslinya. Ada yang mengatakan fiqh al-lughah itu matan atau ensiklopedi sebab didalamnya membicarakan atau membahas tentang bahasa-bahasa serumpun (samiyah) dengan bahasa arab. Perbedaan – perbedaan dialek mereka, bunyi – bunyi pengucapan bahasa. Objek kajian fiqh al-Lughah seperti ini disebut dengan fiqh al-lughah (muqarran) komparatif atau sederhananya adalah metode perbandingan bahasa.
Adanya perbedaan penelitian dalam fiqh al-lughah disebabkan oleh pengetahuan tentang mufradat bahasa arab. Jumlahnya, cara bacanya, penulisan dan penyebutannya. Hal ini menimbulkan 3 pecahan pembahasan fiqh al-lughah:
- Pertama yang meneliti tentang sejarah: memfokuskan atau menggali asal – usul bahasa yang pertama. Perbedaan satu bahasa dengan bahasa yang lain.
- Yang kedua ilmu south (bunyi) menggali serta mencari informasi dialek serta bahasa dan pengucapannya, serta perkembangan dan perubahan bunyi bahasa.
- Yang ketiga ilmu dalalah memfokuskan kajiannya pada perkembangan lafadz-lafadaz bahasa, manfaatnya serta kandungan yang terdapat di balik sebuah makna.
1. c. Fiqh Al-Lughah dan Ilmu Lughah
Polemik panjang telah terjadi sekitar istilah fiqh al-lughah dan ilm al-lughah. Apakah ilmu al-lughah identik dengan fiqh al-lughah atau tidak? Ada yang menyamakan ada pula yang membedakan antara keduanya. Hingga saat ini perdebatan mengenai kedua istilah itu masih berlanjut. Polemik ini muncul karena di Barat selain istilah linguistics, terdapat juga istilah philology yang diserap oleh sebagian ahli ke dalam bahasa Arab menjadi al-filulujiya. Lalu apakah ilmu al-lughah sama dengan linguistik, dan fiqh al-lughah sama dengan al-filulujia?
Polemik ini terjadi karena ketika term linguistik yang secara harfiyah dapat diterjemahkan menjadi ilm al-lughah dikenal oleh para pakar linguistik Arab, mereka sudah terlebih dahulu mengenal term fiqh lughah.Fiqh lughah sebagai sebuah ilmu yang menjadikan bahasa sebagai objek kajiannya, telah muncul di dunia Arab sejak abad ke-4 H. atau sekitar abad ke 10 M. Kondisi ini telah menyebabkan terjadinya perbedaan pendapat mengenai identik atau tidaknya antara ilmu lughah dengan fiqh lughah.
Kamal Basyar membedakan antara ilmu al-lughah dengan fiqh al-lughah. Sedangkan Subhi Shalih menyamakan kedua istilah itu. Sementara Abduh al-Rajihi, yang juga termasuk linguis Arab modern, membedakan antara kedua istilah itu. Al-Rajihi menukil apa yang dikatakan Juwaidi (Guidi), bahwa kata filologi sulit untuk diterjemahkan ke dalam bahasa Arab.
Dengan demikian secara dikotomis ada dua kubu mengenai masalah ini. Kubu pertama mengidentikkan antara ilmu al-lughah dengan fiqh al-lughah, sedangkan kubu kedua membedakan kedua istilah itu. Alasan kelompok pertama sebagaimana dikemukakan oleh Ya’qub adalah sebagai berikut.
1. Secara etimologis kedua istilah itu sama. Dalam kamus Arab (al-bisri) ditemukan bahwa:
الفقه = Pengetahuan, memahami, pengertian,
العلم = Mengerti, memahami, pengetahuan, mengerti
Singkatnya kata al-fiqh (الفقه) = al-’ilm (العلم) dan kata faquha (فقه) = ‘alima (علم) adalah identik. Hanya saja pada penggunaannya kemudian, kata al-fiqh lebih didominasi oleh bidang hukum. Dengan demikian bentuk katailm lughah sama dengan frase fiqh lughah.
Secara terminologis, ilmu al-lughah (علم اللغة) adalah ilmu yang menjadikan bahasa sebagai objek kajiannya, atau telaah ilmiah mengenai bahasa seperti yang telah dikemukaan di atas.
1. Objek kajian kedua ilmu itu sama, yaitu bahasa.
Kesamaan objek kajian kedua istilah di atas terbukti dengan adanya beberapa buku yang menggunakan judulfiqh lughah yang isinya membahas masalah bahasa. Di antara buku dimaksud adalah ‘Asshaiby fi fiqh al-lughah wa sunani al-Arab fi kalamiha karya Ahmad Ibnu Faris (395 H), ‘fiqh al-lughah wa sirru al-Arabiyyahkarya Assa’alaby (340 H), fiqh al-lughah karya Ali Abdul Wahid Wafi (1945), buku ‘Dirasaat fi Fiqh al-Lughah’karya Muhammad Almubarak (1960) dll.
Alasan lain bagi mereka yang mengidentikkan antara ilmu al-lughah dengan fiqh al-lughah adalah:
 Ibnu Faris, Tsa’alabi, dan Ibnu Jinni walaupun nampaknya mereka mempelajari bahasa sebagai alat, tetapi pada akhirnya studi mereka diarahkan untuk mengkaji bahasa Alqur’an
 Dalam fiqh al-Lughah, orang Arab tidak membahas masalah asal-usul bahasa. Lain halnya dengan para filolog Barat dalam filologinya.
 Filologi lebih cenderung bersifat komparatif, sedangkan orang Arab dengan fiqh al-lughahnya, tidak pernah melakukan pembandingan bahasa
 Filologi lebih cenderung membahas bahasa yang sudah mati, sedangkan fiqh al-lughah tidak pernah membahas bahasa demikian.
 Para filolog mengkaji dialek-dialek Indo-Eropa, sedangkan orang Arab mengkaji bahasa Alqur’an.
Dari beberapa alasan di atas, jelaslah bahwa fiqh al-lughah lebih cenderung dengan ilmu al-lughah, dan tidak sama dengan filologi yang dipelajari di Barat. Dan bila para linguis mengumandangkan bahwa karakter linguistik adalah (1) menjadikan bahasa sebagai objek kajiannya, (2) menggunakan metode deskriptif, (3) menganalisis bahasa dari empat tataran, dan (4) bersifat ilmiah, maka semua kriteria itu terdapat pada studi bahasa Arab yang dilabeli fiqh al-lughah itu. Oleh sebab itu, bagi penganut pendapat di atas, fiqh lughahsama dengan ilmu lughah.
Adapun alasan kelompok yang membedakan antara fiqh al-lughah dengan ilmu al-lughah sebagaimana yang dikemukakan oleh Ya’qub (1982: 33-36) adalah sebagai berikut.
1. Cara pandang ilm al-lughah terhadap bahasa berbeda dengan cara pandang fiqh al-lughah. Ilmu Lughah memandang/mengkaji bahasa untuk bahasa, sedangkan fiqh al-Lughah mengkaji bahasa sebagai sarana untuk mengungkap budaya.
2. Ruang lingkup kajian fiqh al-lughah lebih luas dibanding ilmu al-lughah. fiqh al-lughah ditujukan untuk mengungkap aspek budaya dan sastra. Para sarjananya melalukan komparasi antara satu bahasa dengan bahasa lain. Bahkan membuat rekonstruksi teks-teks klasiknya guna mengungkap nilai-nilai budaya yang dikandungnya. Sedangkan ilmu al-lughah hanya memusatkan diri pada kajian struktur internal bahasa saja.
3. Secara historis, istilah fiqh al-lughah sudah lebih lama digunakan dibanding istilah ilmu al-lughah.
4. Sejak dicetuskannya, ilmu al-lughah sudah dilabeli kata ilmiah secara konsisten, sedangkan fiqh al-lughah masih diragukan keilmiahannya.
5. Mayoritas kajian fiqh al-lughah bersifat historis komparatif, sedangkan ilmu al-lughah lebih bersifat deskriptif sinkronis.
Atas dasar pertimbangan itu, dalam beberapa kamus bahasa Arab, kedua istilah itu penggunaanya dibedakan. Penulis melihat, bahwa kelompok yang membedakan kedua term di atas, dipengaruhi oleh anggapan bahwa fiqh lughah sama dengan filologi.
Ada pakar linguistik yang mengatakan bahwa ilmu al-lughah itu mengakaji bukan saja bahasa Arab, tetapi juga bahasa lain (ini yang disebut linguistik umum). Sedangkan fiqh al-lughah hanya mengakaji bahasa Arab. Oleh sebab itu, di antara para linguis Arab ada yang mengatakan bahwa fiqh lugah adalah ilmu al-lughah al-arabiyyah (linguistik bahasa Arab). Term terakhir ini digunakan sebagai judul buku oleh Mahmud Fahmi Hijazy.
Ramdhan Abdu at-Tawab dalam Fushul fi Fiqh al-Arabiyyah (1994) mengatakan “Term Fiqh al-Lughahsekarang ini digunakan untuk menamakan sebuah ilmu yang berusaha untuk mengungkap karakteristik bahasa Arab, mengetahui kaidah-kaidahnya, perkembangannya, serta berbagai hal yang berkaitan dengan bahasa ini baik secara diakronis maupun sinkronis.”
DAFTAR BACAAN
Muhammad ibn Ibrahim al-Hamid, Fiqh al-Lughah, Dar Ibn Khudzinbit: 562 M.
Ramdhan Abduttawab, Fushul fi fiqh Al Arabiyah. Maktabah Al-kahnji, Kairo, 1994
Shabih Shaleh, Darasat fi Fiqh al-Lughah, Maktabah Uhalliyah, Beirut: 1962.
Tamam Hasan, Al-Ushul, ‘Alimu al-kutub, Kairo: 2000.

Sumber: http://kiflipaputungan.wordpress.com

SEJARAH PENDIDIKAN BAHASA ARAB

SEJARAH PENDIDIKAN BAHASA ARAB
Oleh: Cutri Tjalau

1. A. Bahasa Arab di Dunia Modern
Bahasa Arab (اللغة العربية al-lughah al-`Arabīyyah), atau secara mudahnya Arab (عربي `Arabī), adalah sebuah bahasa Semitik yang muncul dari daerah yang sekarang termasuk wilayah Arab Saudi. Bahasa ini adalah sebuah bahasa yang terbesar dari segi jumlah penutur dalam keluarga bahasa Semitik.
Bahasa ini berkerabat dekat dengan bahasa Ibrani dan bahasa Aram. Bahasa Arab Modern telah diklasifikasikan sebagai satu makrobahasa dengan 27 sub-bahasa dalam ISO 639-3. Bahasa-bahasa ini dituturkan di seluruh Dunia Arab, sedangkan Bahasa Arab Baku diketahui di seluruh Dunia Islam.
Bahasa Arab Modern berasal dari Bahasa Arab Klasik yang telah menjadi bahasa kesusasteraan dan bahasa liturgi Islam sejak lebih kurang abad ke-6. Abjad Arab ditulis dari kanan ke kiri.
Bahasa Arab telah memberi banyak kosakata kepada bahasa lain dari dunia Islam, sama seperti peranan Latin kepada kebanyakan bahasa Eropa. Semasa Abad Pertengahan bahasa Arab juga merupakan alat utama budaya, terutamanya dalam sains, matematik adan filsafah, yang menyebabkan banyak bahasa Eropa turut meminjam banyak kosakata dari bahasa Arab.[1]

1. B. Pendidikan Bahasa Arab di Indonesia
Sejauh ini belum ada hasil penelitian yang memastikan sejak kapan studi bahasa Arab di Indonesia mulai dirintis dan dikembangkan. Asumsi yang selama ini berkembang adalah bahwa bahasa Arab sudah mulai dikenal oleh bangsa Indonesia sejak Islam dikenal dan dianut oleh mayoritas bangsa kita. Jika Islam secara meluas telah dianut oleh masyarakat kita pada abad ke-13, maka usia pendidikan bahasa Arab dipastikan sudah lebih dari 7 abad. Karena perjumpaan umat Islam Indonesia dengan bahasa Arab itu paralel dengan perjumpaannya dengan Islam. Dengan demikian, bahasa Arab di Indonesia jauh lebih “tua dan senior” dibandingkan dengan bahasa asing lainnya, seperti: Belanda, Inggris, Portugal, Mandarin, dan Jepang.
Pendidikan bahasa Arab di Indonesia sudah diajarkan mulai dari TK (sebagian) hingga perguruan tinggi. Berbagai potret penyelenggaraan pendidikan bahasa Arab di lembaga-lembaga pendidikan Islam setidaknya menunjukkan adanya upaya serius untuk memajukan sistem dan mutunya. Secara teoritis, paling tidak ada empat orientasi pendidikan bahasa Arab sebagai berikut:
Orientasi Religius, yaitu belajar bahasa Arab untuk tujuan memahami dan memahamkan ajaran Islam (fahm al-maqrû’). Orientasi ini dapat berupa belajar keterampilan pasif (mendengar dan membaca), dan dapat pula mempelajari keterampilan aktif (berbicara dan menulis).
Orientasi Akademik, yaitu belajar bahasa Arab untuk tujuan memahami ilmu-ilmu dan keterampilan berbahasa Arab (istimâ’, kalâm, qirâ’ah, dan kitâbah). Orientasi ini cenderung menempatkan bahasa Arab sebagai disiplin ilmu atau obyek studi yang harus dikuasai secara akademik. Orientasi ini biasanya identik dengan studi bahasa Arab di Jurusan Pendidikan bahasa Arab, Bahasa dan Sastra Arab, atau pada program Pascasarjana dan lembaga ilmiah lainnya.
Orientasi Profesional/Praktis dan Pragmatis, yaitu belajar bahasa Arab untuk kepentingan profesi, praktis atau pragmatis, seperti mampu berkomunikasi lisan (muhâdatsah) dalam bahasa Arab untuk bisa menjadi TKI, diplomat, turis, misi dagang, atau untuk melanjutkan studi di salah satu negara Timur Tengah, dsb.
Orientasi Ideologis dan Ekonomis, yaitu belajar bahasa Arab untuk memahami dan menggunaakan bahasa Arab sebagai media bagi kepentingan orientalisme, kapitalisme, imperialisme, dsb. Orientasi ini, antara lain, terlihat dari dibukanya beberapa lembaga kursus bahasa Arab di negara-negara Barat.[2]
Pendidikan Bahasa Arab (PBA) di Indonesia relatif sudah tersebar di berbagai UIN, IAIN, STAIN, dan sebagian PTAI swasta seperti Universitas Islam Jakarta. Hanya saja, disiplin keilmuan ini masih tergolong “miskin” sumber daya manusia dan sumber-sumber studi (referensi). Sementara ini, yang tergolong memiliki SDM PBA cukup kuat adalah PBA FITK Jakarta (4 profesor, 4 doktor, dan 8 Magister). Menurut pengamatan penulis, yang agak memperihatinkan, terutama bagi PBA di luar UIN Jakarta yang masih miskin SDM, adalah bagaimana lembaga-lembaga itu mampu meningkatkan kualitas SDM dan memperkaya referensi sebagai basis pembelajaran, penelitian dan pengembangan ilmu-ilmu bahasa Arab.
Dalam hal ketersediaan sumber belajar (buku, jurnal, koran Arab, media dan sebagainya), PBA UIN Jakarta reletif “tertolong” oleh keberadaan LIPIA (Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab) yang berafiliasi pada Universitas al-Imâm Muhammad ibn Sa’ûd di Riyâdh. Lembaga ini tidak hanya mensuplay berbagai sumber belajar yang relatif memadai, melainkan juga membantu PBA memberikan native speaker dan koran-koran berbahasa Arab untuk PBA. Kalau saja LIPIA tidak ada atau jauh dari PBA UIN Jakarta, mungkin nasib PBA tidak jauh berbeda dengan PBA-PBA yang ada di luar Jakarta.
Kurikulum PBA pada UIN, IAIN, dan STAIN tampaknya merupakan hasil “ijtihad institusional” masing-masing, bukan merupakan “ijtihad struktural” (baca: Depag RI). Sejauh ini belum pernah ada konsensus atau kesepakatan bersama mengenai pentingnya kerjasama atau networking antarPBA untuk merumuskan epistemologi, arah kebijakan, dan kurikulum PBA secara lebih luas dan komprehensif. Meskipun PBA FITK menjadi semacam “lokomotif atau kiblat” bagi PBA-PBA lainnya –antara lain karena berada di pusat dan menjadi sasaran studi banding bagi PBA-PBA lainnya—namun tuntutan dan kebutuhan untuk memperbaharui kurikulumnya sudah semakin mendesak, karena perkembangan ilmu-ilmu bahasa Arab, sains, teknologi, dan sistem sosial budaya cukup pesat.
Dalam masyarakat dewasa ini mulai timbul keluhan atau kritik yang dialamatkan kepada dunia pendidikan tinggi Islam, termasuk PBA, bahwa lulusan PBA kurang memiliki kemandirian dan keterampilan berbahasa yang memadai, sehingga daya saing mereka rendah dibandingkan dengan alumni lembaga lain. Kelemahan daya saing ini perlu dibenahi dengan memberikan aneka “keterampilan plus”, seperti: keterampilan berbahasa Arab dan Inggris aktif (berbicara dan menulis)[3], keterampilan mengoperasikan berbagai aplikasi komputer, keterampilan meneliti, keterampilan manajerial, dan keterampilan sosial.

1. 1. Posisi Pengajaran Bahasa Arab di Indonesia
1. Bahasa Arab Sebagai Bahasa Agama Verbal
Sebagai simbol ekspresi linguistik ajaran Islam, pengajaran bahasa Arab yang pertama di Indonesia adalah untuk memenuhi kebutuhan seorang muslim dalam menunaikan ibadah ritual, khususnya ibadah shalat. Sesuai dengan kebutuhan tersebut, materi yang diajarkan hanya terbatas pada doa-doa shalat dan surat-surat pendek al-Qur’an yang lazim dikenal dengan juz ‘amma. Metode yang lazim digunakan ialah metode abjadiyah (alphabetical method) yang terkenal dengan nama metode baghdadiyah. Metode ini menekankan pada kemampuan membaca huruf-huruf al-Qur’an (al-huruf al-hija’iyah) yang dimulai dari: (a) penyebutan huruf dengan namanya satu persatu dari alif samapai ya’ secara abjad sampai murid hafal nama-nama huruf tersebut secara terpisah atau satu persatu, kemudian (b) diajarkan kata-kata yang terdiri dari dua huruf , lalu tiga huruf, dan begitu seterusnya yang diberikan secara bertahap, kemudian meningkat pada (c) pengajaran harakat, dimulai dengan menyebutkan huruf yang disertai dengan nama harakatnya.

1. Bahasa Arab Sebagai Media/alat untuk Memahami Agama
Seiring dengan berkembangnya waktu, metode dan pola pengajaran yang pertama di atas mulai mengalami pergeseran dan perkembangan ke arah yang lebih bermakna. Pengajaran bahasa Arab verbalistik sebagai mana di atas tidak cukup, karena al-Qur’an tidak hanya untuk dibaca sebagai sarana ibadah, melainkan juga sebagai pedoman hidup yang harus dipahami maknanya dan diamalkan ajaran-ajarannya. Oleh karena itu, muncullah pengajaran bahasa Arab dalam bentuk kedua dengan tujuan mendalami ajaran agama Islam.
Pengajaran bahasa Arab bentuk kedua ini tumbuh dan berkembang di berbagai pondok pesantren salaf. Materi yang diajarkan mencakup fikih, aqidah, akhlaq, hadits, tafsir, dan ilmu-ilmu bahasa rab seperti nahwu, sharaf, dan balaghah dengan buku teks berbahasa Arab yang ditulis oleh para ulama dari berbagai abad di masa lalu. Metode yang digunakan adalah metode gramatika-tarjamah (thariqah al-qawa’id wa al-tarjamah/grammar-translation method) dengan teknik penyajian yang masih relatif tradisional, di mana guru (Kiai) dan para murid (santri) masing-masing memegang buku (kitab). Guru membaca dan mengartikan kata demi kata atau kalimat demi kalimat ke dalam bahasa daerah khas pesantren yang telah didekatkan kepada sensivitas bahasa Arab. Sedangkan tata bahasa (qawa’id) bahasa Arab diselipkan ke dalam kata-kata tertentu sebagai simbol yang menunjukkan fungsi suatu kata dalam kalimat. Santri hanya mencatat arti setiap kata atau kalimat Arab yang diucapkan artinya oleh guru, tanpa adanya interaksi verbal yang aktif dan produktif antara kiai dan santrinya.

1. Bahasa Arab Sebagai Media Komunikasi
Meski pola pengajaran bahasa Arab dalam bentuk kedua di atas sangat dominan berlaku di berbagai pondok pesantren salaf hingga kini, dan diakui kontribusinya dalam memberikan pemahaman umat Islam Indonesia terhadap ajaran agamanya, namun tuntutan dunia komunikasi pada gilirannya menggiring perubahan baru pola pengajaran bahasa Arab. Interaksi antar bangsa menuntut umat Islam untuk tidak sekedar memiliki kemampuan berbahasa Arab reseptif (pasif), tetapi kemampuan berbahasa yang lebih aktif dan produktif. Semangat pembaruan ini diperkuat dengan munculnya para cendikiawan dan intelektual muda muslim dengan nuansa pemikiran yang segar, sekembali mereka dari menuntut ilmu di negeri pusat-pusat pendidikan di Timur Tengah, terutama Mesir.
Pada masa inilah metode langsung (direct method / al-thariqah al-mubasyirah) mulai diterapkan dalam pengajaran bahasa Arab di Indonesia. Pengajaran bahasa Arab bentuk ketiga ini terdapat di berbagai pondok pesantren atau lembaga pendidikan Islam modern sejak awal abad ke-19. Dimulai di Padang Panjang oleh ustadz Abdullah Ahmad, Madrasah Adabiyah (1909), dua bersaudara Zaenuddin Labay al-Yunusi dan Rahmah Labay el-Yunusiyah, Diniyah Putra (1915) dan Diniyah Putri (1923), dan ustadz Mahmud Yunus, Normal School (1931). Kemudian ditumbuh-kembangkan oleh K.H. Imam Zarkasyi di Kulliyatul Mu’allimin al-Islamiyah Gontor Ponorogo.
Dalam sistem pengajaran bentuk ketiga ini, pelajaran agama pada tahun pertama diberikan sebagai dasar saja dengan menggunakan bahasa Indonesia. Sementara itu, sebagaian besar perhatian siswa dicurahkan kepada pelajaran bahasa Arab dengan metode langsung. Pada tahun kedua, ilmu tata bahasa Arab (nahwu-sharaf) mulai diberikan dalam bahasa Arab dengan metode induktif (al-thariqah al-istiqra’iyah), ditambah dengan latihan intensif qira’ah (reading), insya’ (writing), dan muhadatsah (speaking/conversation). Pelajaran agama juga disajikan dalam bahasa Arab. Dalam masa belajar enam tahun (pasca sekolah dasar), seorang lulusan perguruan Islam modern ini (setara dengan lulusan SLTA/SMA) telah mampu berkomunikasi dengan bahasa Arab secara lisan dan tulis, serta mampu membaca buku berbahasa Arab dalam berbagai subyek pengetahuan.
Dalam perkembangannya, pengajaran bahasa Arab di perguruan Islam modern ini tidak hanya menggunakan metode langsung tapi mengikuti pembaruan-pembaruan yang terjadi di dunia pengajaran bahasa, misalnya metode aural-oral (al-thariqah al-sam’iyah al-syafawiyah) dan pendekatan komunikatif (al-thariqah al-itthishaliyah).

1. Bentuk Integrasi
Selanjutnya, dari obsesi para pemerhati pengajaran bahasa Arab yang ingin mengintegrasikan antara bentuk pengajaran bahasa Arab yang kedua dan ketiga, maka muncullah bentuk pengajaran bahasa Arab keempat yaitu bentuk integrasi. Pada fase ini tujuan pengajaran bahasa Arab memiliki dua arah, yaitu pengajaran bahasa Arab untuk penguasaan kemahiran berbahasa dan pengajaran bahasa Arab untuk penguasaan pengetahuan lain dengan menggunakan wahana bahasa Arab. Selain itu, jenis bahasa yang dipelajari mencakup dua bahasa, yaitu bahasa Arab klasik dan modern. Penggabungan ini di satu sisi memiliki kelebihan karena dapat memberdayakan kompetensi peserta didik secara komprehensif, namun di sisi lain melahirkan ketidakmenentuan, karena keterbatasan sel-sel otak peserta didik untuk mengakomodasi keduanya secara bersamaan.
Ketidakmenetuan ini bisa dilihat dari berbagai segi. Pertama dari segi tujuan, terdapat kerancuan antara mempelajari bahasa Arab untuk menguasai kemahiran berbahasa atau sebagai alat untuk menguasai pengetahuan lain yang menggunakan wahana bahasa Arab. Kedua dari segi jenis bahasa yang dipelajari, terdapat ketidakmenentuan apakah bahasa Arab klasik, bahasa Arab modern, atau bahasa Arab sehari-hari. Ketiga dari segi metode, terdapat kegamangan antara mempertahankan metode yang lama atau menggunakan metode yang baru.
Meskipun demikian, pengajaran bahasa Arab bentuk keempat ini telah banyak dipergunakan hingga kini di berbagai lembaga pendidikan formal (madrasah dan sekolah umum) di Indonesia. Kebijakan ini diambil karena bentuk integrasi ini dipandang lebih aspiratif dengan perkembangan abad globalisasi, dengan terus mengupayakan berbagai cara untuk memperbaiki kekurangan-kekurangan yang terdapat di dalamnya. Begitu pula dengan kegamangan yang ada, setidaknya dapat memacu para pemerhati pengajaran bahasa Arab untuk menghadirkan tawaran positif bagi pengembangan metodologi pengajaran bahasa Arab.
Akhirnya, bentuk-bentuk pengajaran bahasa Arab yang telah diuraikan di atas masih tetap eksis dan dipergunakan hingga saat ini, tentu dengan modifikasi, inovasi dan perkembangan masing-masing. Jika pengajaran bahasa Arab bentuk pertama dahulu berada di surau dan masjid, kini berkembang menjadi TPQ/TPA (Taman Pendidikan Al-Qur’an) yang menjamur bukan hanya di pedesaan tapi juga marak di perkotaan. Metode yang digunakan semakin berkembang menjadi lebih praktis dan bervariasi, tidak hanya metode eja/abjad, tapi juga menggunakan metode iqra’, al-barqi, hattawiyah, al-nur dan sejenisnya. Perkembangan ini sejalan dengan meningkatnya kesadaran beragama masyarakat dan kesdaran akan perlunya menanamkan nilai-nilai keagamaan kepada anak-anak sejak usia dini.
Sementara itu, pengajaran bahasa Arab bentuk kedua masih tetap dipertahankan di pondok-pondok pesantren salaf. Sedangkan pengajaran bahasa Arab bentuk ketiga yang menekankan bahasa Arab sebagai alat komunikasi banyak dipergunakan di pondok pesantren modern, dan berbagai lembaga pendidikan Islam modern. Adapun pengajaran bahasa Arab bentuk keempat juga masih tetap dipergunakan hingga kini di lemabaga pendidikan formal (madrasah dan sekolah umum) dan terus diupayakan penyempurnaannya, baik dari segi kurikulum, orientasi pengajarannya, materi yang diajarkan, metode dan strategi pengajarannya, serta media yang digunakan.[2]

1. C. Pendidikan Bahasa Arab di Barat
Bahasa Arab dikenal sebagai bahasa yang sulit. “Bahasa Arab memberikan sejumlah tantangan bagi mereka yang menggunakan bahasa Inggris,” kata Dr. Omran.
Tantangan itu misalnya dari cara membacanya dari kanan ke kiri, bunyi hurufnya yang masih terasa asing bagi pemakai bahasa Inggris dan tata bahasanya yang agak pelik.
Dr Omran sudah lebih dari 20 tahun mengajar bahasa Arab bagi mahasiswa Amerika. Ia mengatakan, dengan sedikit kerja keras dan komitmen, setiap orang bisa cepat menguasai bahasa Arab dan lancar bicara dengan menggunakan bahasa itu.
Namun menurut Dr. Michael Cooperson yang sudah mengajar bahasa Arab di sejumlah universitas bergengsi di AS seperti Harvard dan UCLA, tingkat kesulitan belajar bahasa Arab tergantung pada bahasa yang sering dipakai oleh mahasiswa bersangkutan. “Jika bahasa yang selalu digunakan berdialek sama dengan bahasa Arab, ini menguntungkan. Termasuk jika sebelumnya ada sudah biasa bicara dengan bahasa Hebrew atau bahasa Semit lainnya,” kata Dr Cooperson[3]
________________________________________
[1] http://kampussyariah.com/webx/e2.php?id=14
[2] Fajri, Perkembangan Pengajaran Bahasa Arab, http://fajristainjusi.blogspot.com/2009/12/ perkembangan-pengajaran-bahasa-arab.html, di akses pada 25 Juni 2010.
[3]T.n.p, Bahasa Arab yang paling Banyak Peminatnya di AS, http://www.eramuslim.com/berita/dunia/bahasa-arab-bahasa-yang-paling-banyak-peminatnya-di-as.htm, di akses pada 25 Juni 2010.

Sumber: http://kiflipaputungan.wordpress.com

Sabtu, 22 Oktober 2011

Buku Bahasa Arab 1

Bahasa Arab Buku 1