Sabtu, 12 November 2011

MAF'UL MUTHLAQ

MAF’UL MUTHLAQ
(المَفْعُوْلُ المُطْلَقُ)

Tujuan:
Mahasiswa dapat memahami konsep Maf'ul Muthlaq, serta dapat mengaflikasikannya dalam memahami kalimat-kalimat bahasa Arab.

Maf’ul muthlaq ialah
اِسْمٌ مَنْصُوْبٌ مِنْ لَفْظِ الفِعْلِ (مَصْدَرٍ) يُذْكَرُ مَعَهَ لِتَوْكِيْدِهِ أَوْ لِبَيَانِ نَوْعِهِ أَوْ عَدَدِهِ
Isim manshub yang terbentuk dari fi’il (yakni berupa mashdar) yang disebutkan dalam kalimat dengan beberapa tujuan antara lain untuk menguatkan pekerjaan, menjelaskan jenis pekerjaan, atau menjelaskan frekwensi pekerjaan.

Jadi, maf’ul muthlaq adalah:
- Berupa isim
- Dibacanya nashab
- Terbentuk dari fi’il (yakni berupa mashdar)
- Tujuannya adalah untuk menguatkan pekerjaan, menjelaskan jenis pekerjaan, atau menjelaskan frekwensi pekerjaan.

Berikut ini adalah beberapa contoh maf’ul muthlaq:
1. Untuk menguatkan pekerjaan.
حَفِظْتُ الدَّرْسَ حِفْظاً
Saya menghapal pelajaran dengan sesungguhnya

Analisa Kalimat:
Lafaz حَفِظْتُ terdiri dari dua kata, yaitu حَفِظَ dan تُ.
Kata حَفِظَ adalah fi'il madhi (kata kerja lampau) dibacanya mabni fatah dan kedudukanya adalah sebagai fi'il (pekerjaan).
Kata تُ adalah isim Dhomir (kata ganti) dibacanya mabni dhommah dan kedudukanya adalah sebagai fa'il (pelaku).
Kata الدَّرْسَ adalah isim (bentuk masdar) kedudukannya sebagai maf'ul bih (objek penderita).
Kata حِفْظاً adalah bentuk mashar dari kata حَفِظَ يَحْفَظُ حِفْظًا dibaca nashab kedudukannya sebagai maf'ul muthlaq.

2. Untuk menjelaskan jenis pekerjaan
جَلَسْتُ جِلْسَةَ العُلَمآءِ
Saya duduk laksana duduknya para ulama

Analisa Kalimat:
Lafaz حَفِظْتُ terdiri dari dua kata, yaitu حَفِظَ dan تُ.
Kata حَفِظَ adalah fi'il madhi (kata kerja lampau) dibacanya mabni fatah dan kedudukanya adalah sebagai fi'il (pekerjaan).
Kata تُ adalah isim Dhomir (kata ganti) dibacanya mabni dhommah dan kedudukanya adalah sebagai fa'il (pelaku).
Lafaz جِلْسَةَ العُلَمآءِ terdiri dari dua kata, yaitu kata جِلْسَةَ dan العُلَمآء.
Kata جِلْسَةَ adalah bentuk masdar haiat (masdar yang menunjukkan keadaan) kedudukannya adalah sebagai mudhof. Sedangkan kata العُلَمآءِ adalah isim (jama' taksir) kedudukannya sebagai mudhof ileh.
Lafaz جِلْسَةَ العُلَمآءِ (mudhof-mudhof ileh) tersebut keduduknya sebagai maf'ul muthlaq.


3. Untuk menjelaskan frekwensi pekerjaan.
ضَرَبْتُ الكَلْبَ ثَلاَثَ ضَرَبَاتٍ
Saya memukul anjing sebanyak tiga kali

Analisa Kalimat:
Lafaz ضَرَبْتُ terdiri dari dua kata, yaitu ضَرَبَ dan تُ.
Kata ضَرَبَ adalah fi'il madhi (kata kerja lampau) dibacanya mabni fatah dan kedudukanya adalah sebagai fi'il (pekerjaan).
Kata تُ adalah isim Dhomir (kata ganti) dibacanya mabni dhommah dan kedudukanya adalah sebagai fa'il (pelaku).
Lafaz ثَلاَثَ ضَرَبَاتٍ terdiri dari dua kata, yaitu kata ثَلاَثَ dan ضَرَبَاتٍ.
Kata ثَلاَثَ adalah isim adad (kata bilangan) kedudukannya adalah sebagai mudhof. Sedangkan kata adalah ضَرَبَاتٍ bentuk masdar dari kata ضَرَبَ يَضْرِبُ ضَرْبًا- ضَرَبَاتٍ (jama' muannats salim) dibaca jar tanda bacanya kasroh, kedudukannya sebagai mudhof ileh.
Lafaz ثَلاَثَ ضَرَبَاتٍ (mudhof-mudhof ileh) tersebut keduduknya sebagai maf'ul muthlaq.


Pelajari Contoh-contoh berikut:
شَكَرْتُ اللهَ شُكْراً
أَحْمَدُ اللهَ حَمْداً
لَبِسْتُ لِبْسَةَ العُلَمآءِ
ضَرَبْتُ الكَلْبَ أَرْبَعَ ضَرَبَاتٍ
رَكَعْتُ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ

Rabu, 02 November 2011

BAHASA ARAB KUNCI ILMU-ILMU ISLAM

BAHASA ARAB KUNCI ILMU-ILMU ISLAM

Segala puji bagi Allah. Kita memuji-Nya. Kita meminta pertolongan
kepada-Nya. Dan kita berlindung kepada Allah dari kejelekan hawa nafsu
dan amal perbuatan kita. Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah
maka tidak ada yang dapat menyesatkan-Nya. Dan barangsiapa yang
disesatkan oleh-Nya maka tidak ada seorang pun yang sanggup
menunjuki-Nya. Aku bersaksi bahwa tiada sesembahan yang benar selain
Allah semata dan tiada sekutu bagi-Nya. Dan aku bersaksi bahwa Muhammad
adalah hamba dan utusan-Nya. Beliau telah menyampaikan risalah. Beliau
pun telah menunaikan amanah. Beliau telah berjihad di jalan Allah
dengan sebenar-benar jihad. Semoga shalawat dan salam dari Allah selalu
terlimpah kepadanya, kepada keluarga, para sahabat dan segenap pengikut
mereka yang setia hingga hari kiamat tiba.

KEMULIAAN BAHASA ARAB
Sesungguhnya bahasa Arab merupakan bahasa yang
dipilih oleh Allah untuk agama ini. Tidak ada seorang cerdik pun yang
meragukan jikalau peranan bahasa Arab bagi ilmu-ilmu Islam itu
sebagaimana peranan lisan bagi segenap anggota badan. Bahkan, tidaklah
berlebihan jika kita katakan bahwa sesungguhnya kedudukan bahasa Arab
itu ibarat jantung bagi tubuh manusia. Sebab ia merupakan bahasa agama
Islam yang paling luhur. Dengan bahasa inilah Al Qur’an Al ‘Azhim
diturunkan. Allah jalla wa ‘ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya
Kami menurunkannya berupa Al Qur’an dengan berbahasa Arab, agar kamu
memahaminya.” (QS. Yusuf : 2)
Imam Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan,”Hal itu dikarenakan bahasa
Arab merupakan bahasa yang paling fasih, bahasa yang paling gamblang
dalam hal pemaparan, bahasa yang paling luas cakupannya, dan bahasa
yang paling banyak menyentuh berbagai makna yang dirasakan di dalam
jiwa. Oleh sebab itulah kitab yang paling mulia ini diturunkan dengan
bahasa yang paling mulia pula…”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,“Sesungguhnya tatkala
Allah menurunkan kitab-Nya dengan bahasa Arab, tatkala Allah mengangkat
Rasul-Nya sebagai penyampai Al Kitab dan Al Hikmah dari-Nya melalui
lisan beliau yang berbahasa Arab, tatkala Allah menjadikan orang-orang
yang terdahulu membela agama ini dalam keadaan bertutur kata dengan
bahasa itu, dan terlebih lagi tatkala tidak ada cara lain untuk
memelihara keutuhan ajaran agama dan memahaminya kecuali dengan menjaga
bahasa ini, maka itu berarti mempelajarinya termasuk bagian dari ajaran
agama dan akan lebih memudahkan orang dalam menegakkan syi’ar-syi’ar
agama.”
Allah pun telah mencirikan Kitab-Nya sebagai sebuah kitab yang
berbahasa Arab dan tidak mengandung kebengkokan. Allah mensifati Al
Qur’an sebagai sesuatu yang lurus. Selain itu Allah juga mensifati Al
Qur’an dengan sesuatu yang jelas. Allah berfirman yang artinya,”Allah
menurunkan Al Qur’an ini dengan bahasa Arab yang jelas.” Allah pun
mensifatinya dengan keadilan. Allah berfirman yang artinya,”Dan
demikian pula Kami turunkan ia sebagai keputusan (keadilan) yang
berbahasa Arab.” (dinukil dari Ta’liqaat Jaliyah)

HUKUM MEMPELAJARINYA
Syaikhul Islam mengatakan: “Dan sesungguhnya bahasa
Arab itu sendiri bagian dari agama dan hukum mempelajarinya adalah
wajib, karena memahami Al-Kitab dan As-Sunnah itu wajib dan keduanya
tidaklah bisa difahami kecuali dengan memahami bahasa Arab. Hal ini
sesuai dengan kaidah : Apa yang tidak sempurna suatu kewajiban kecuali
dengannya maka ia juga hukumnya wajib. Namun disana ada bagian dari
bahasa Arab yang wajib ‘ain dan ada yang wajib kifayah.” (Iqtidho
shirothil mustaqim)

KEDUDUKAN ILMU NAHWU
Ilmu Nahwu adalah ilmu yang sangat penting. Sebab
segala bidang ilmu syari’at pasti memerlukannya. Oleh sebab itu para
penuntut ilmu sudah semestinya bersungguh-sungguh dalam memahami kaidah
bahasa Arab dan berusaha untuk tidak terjatuh dalam kekeliruan dalam
penuturan kata bahasa Arab. Khalifah Rasyid ‘Umar bin Khaththab
radhiyallahu’anhu menulis surat untuk Abu Musa Al Asy’ari yang isinya
mengatakan,”Amma ba’du. Dalamilah ilmu As Sunnah. Pelajarilah ilmu
bahasa Arab. I’rablah Al Qur’an, sebab ia itu berbahasa Arab”. Beliau
pun berpesan,”Pelajarilah bahasa Arab karena sesungguhnya ia adalah
bagian penting dari agama kalian. Pelajarilah ilmu waris, karena ia
juga bagian penting dari agama kalian.”
Al Ashma’i rahimahullah mengatakan,”Sesungguhnya perkara yang paling
aku khawatirkan menimpa penuntut ilmu tatkala dia tidak paham Nahwu
maka dia akan tergolong kelompok orang yang disabdakan oleh Rasul
shallallahu ‘alaihi wa sallam,”Barangsiapa yang sengaja berdusta atas
namaku maka hendaknya dia mempersiapkan tempat duduknya di dalam
neraka.” (HR. Bukhari [108] dan Muslim [1/10])
Maka tidaklah mengherankan jika Imam Syafi’i rahimahullah mengatakan
tentang keagungan ilmu Nahwu ini,”Orang yang memiliki pengetahuan yang
luas dalam hal ilmu Nahwu maka dia akan menemukan jalan untuk menyusuri
seluk beluk setiap bidang ilmu.” (Syadzaratu dzahab, Ibnul ‘Imad Al
Hanbali, 231) Beliau juga pernah mengatakan,”Tidaklah ada sebuah
pertanyaan masalah hukum yang dilontarkan kepadaku melainkan aku bisa
menjawabnya dengan bantuan kaidah ilmu Nahwu.” (Syadzaratu dzahab,
Ibnul ‘Imad Al Hanbali, 231) Beliau menegaskan bahwa ilmu Nahwu adalah
jembatan untuk memahami ajaran syari’at. Beliau berkata,”Tidak ada
maksudku dalam menekuninya -yaitu ilmu bahasa Arab- kecuali untuk
membantuku dalam memahami persoalan hukum.” (Siyar A’lamin Nubalaa’,
1/75) (dinukil dari Ta’liqaat Jaliyah)

AWALNYA AGAK SULIT TAPI AKHIRNYA MUDAH
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan, ”Sesungguhnya ilmu Nahwu adalah ilmu yang mulia. Sebuah ilmu perantara yang menjembatani kepada dua hal yang sangat penting; Pertama : guna memahami Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, hal itu dikarenakan pemahaman terhadap banyak permasalahan yang ada di dalamnya sangat tergantung kepada pemahaman ilmu Nahwu. Kedua : guna membenarkan ucapan menurut kaidah bahasa Arab, yang dengan bahasa inilah Kalamullah ‘Azza wa jalla diturunkan. Oleh sebab itu pemahaman ilmu Nahwu adalah perkara yang sangat penting. Meskipun untuk memahami Nahwu memang pada awalnya terasa sukar, namun pada akhirnya akan terasa mudah. Ada sebagian orang yang membuat perumpamaan tentang ilmu Nahwu ibarat sebuah rumah yang
terbuat dari bambu namun pintunya terbuat dari besi. Maksudnya, rumah
itu sulit untuk dimasuki, namun jika kamu sudah memasukinya maka segala
sesuatu akan menjadi mudah bagimu. Karena itulah sudah semestinya
setiap orang bersemangat dalam mempelajari prinsip-prinsip dasar ilmu
tersebut sehingga materi-materi lainnya akan terasa mudah baginya.
Janganlah dipikirkan komentar orang yang mengatakan,”Nahwu itu sulit.”
Sehingga hal itu akan memunculkan anggapan dalam diri seorang penuntut
ilmu bahwasanya dirinya tidak mungkin bisa menguasainya. Padahal
ungkapan itu tidak sepenuhnya benar. Akan tetapi hendaknya kamu perkuat
pemahamanmu terhadap prinsip-prinsip dasarnya sehingga materi-materi
lainnya akan menjadi mudah untuk dimengerti.” (Syarah Ajurumiyah)

NIAT BAIK DAN PEMAHAMAN YANG BENAR
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah
mengatakan, “Pemahaman yang benar dan niat yang baik adalah termasuk
nikmat paling agung yang dikaruniakan Allah kepada hamba-Nya. Bahkan
tidaklah seorang hamba mendapatkan pemberian yang lebih utama dan lebih
agung setelah nikmat Islam daripada memperoleh kedua nikmat ini. Bahkan
kedua hal ini adalah pilar tegaknya agama Islam, dan Islam tegak di
atas pondasi keduanya. Dengan dua nikmat inilah hamba bisa
menyelamatkan dirinya dari terjebak di jalan orang yang dimurkai (al
maghdhuubi ‘alaihim) yaitu orang yang memiliki niat yang rusak. Dan
juga dengan keduanya ia selamat dari jebakan jalan orang sesat (adh
dhaalliin) yaitu orang-orang yang pemahamannya rusak. Sehingga dengan
itulah dia akan termasuk orang yang meniti jalan orang yang diberi
nikmat (an’amta ‘alaihim) yaitu orang-orang yang memiliki pemahaman dan
niat yang baik. Mereka itulah pengikut shirathal mustaqim..” (I’laamul
Muwaqqi’iin, 1/87, dinukil dari Min Washaaya Salaf, hal. 44)

MENJAGA KEIKHLASAN
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah
pernah ditanya : Dengan cara apakah dapat diperoleh keikhlasan dalam
menuntut ilmu ? Beliau menjawab : Ikhlas dalam menuntut ilmu itu bisa
dicapai dengan beberapa hal :
Pertama : Dalam belajar engkau berniat demi melaksanakan perintah Allah. Karena Allah telah memerintahkannya, Allah berfirman (yang artinya), “Maka ketahuilah bahwasanya tiada sesembahan yang hak selain Allah dan mintalah ampun atas dosa-dosamu”. Dan Allah subhanahu wa ta’ala juga mendorong orang supaya menuntut ilmu. Sedangkan dorongan Allah atas sesuatu memberikan konsekuensi kecintaan dan keridhaan Allah terhadap hal itu.
Kedua : Dalam belajar engkau berniat demi menjaga syari’at Allah.
Karena penjagaan syari’at Allah itu hanya bisa dilakukan dengan
mempelajari dan menghafalkannya di dalam dada, dan bisa juga dengan
mencatat.
Ketiga : Dalam belajar engkau berniat untuk melindungi syari’at dan membelanya. Karena seandainya tidak ada ulama niscaya syari’at tidak
akan terlindungi. Dan tidak ada seorang pun yang menjadi pembelanya.
Oleh sebab itulah, misalnya, kita dapati Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
dan ulama yang lainnya bersikap lantang memusuhi ahli bid’ah dan
membeberkan kebatilan bid’ah-bid’ah mereka, maka kami berpandangan
bahwa mereka itu memperoleh kebaikan (pahala) banyak sekali.
Keempat : Dengan belajar itu engkau berniat mengikuti syari’at Muhammad
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena engkau tidak mungkin bisa
mengikuti syari’at beliau kecuali apabila engkau sudah mengetahui isi
syari’at ini.
Kelima : Dengan belajar itu engkau berniat dalam rangka menghilangkan
kebodohan dari dirimu sendiri dan dari orang lain (Kitabul ‘Ilmi, hal.
199)

BELAJAR DENGAN SABAR
Syaikh Shalih bin Abdul ‘Aziz Alu Syaikh
menasehatkan,“Dalam tahapan menuntut ilmu ada dasar-dasar ilmu yang
harus dipelajari. Ilmu itu juga bertingkat-tingkat. Barangsiapa yang
tidak menuntut ilmu sesuai dengan tingkatan-tingkatannya serta tidak
memulainya dengan ilmu-ilmu yang dasar-dasar, maka sesungguhnya dia
tidak akan bisa meraih hasilnya dengan baik. Perkara ini sering sekali
saya ingatkan supaya ia tertanam kuat di dalam hati para penuntut dan
pecinta ilmu. Yaitu sebuah prinsip penting yang menyatakan bahwasanya :
Ilmu itu seharusnya dituntut sedikit demi sedikit dan berjalan terus
beriringan dengan perjalanan waktu siang dan malam. Sebagaimana hal itu
pernah dilontarkan oleh seorang Imam yang sangat populer yaitu Ibnu
Syihab Az Zuhri. Ketika beliau mengatakan, “Barangsiapa yang
menginginkan segudang ilmu secara sekaligus maka niscaya ilmu itu akan
hilang darinya juga secara tiba-tiba. Karena sesungguhnya ilmu harus
ditimba (sedikit demi sedikit) seiring dengan perjalanan waktu siang
dan malam.” (Syarh Arba’in An Nawawiyah)
Inilah sedikit faedah yang bisa saya kumpulkan terkait dengan bahasa
Arab dan kiat-kiat dalam mempelajarinya. Semoga bisa bermanfaat bagi
penulisnya, pembacanya dan siapa pun yang turut menyebarluaskannya.

Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala aalihi wa shahbihi wa sallam.

Posting oleh Ismajid ke IQRO pada 1/08/2009 04:37:00 PM

BAHASA ARAB DI LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM

BAHASA ARAB DI LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM

Oleh : Saidun Fiddaroini

PENDAHULUAN
Pada dasarnya bahasa yang memasyarakat adalah bahasa yang mudah dikuasai, mudah diperoleh dan juga mudah dipakai oleh masyarakat. Proses belajar mengajar, bahasa Arab sebagai media sosialisasinya, dengan sendirinya berusaha untuk menjadikan bahasa Arab itu mudah dikuasai sebagai alat komunikasi baik secara lisan maupun tulisan. Tugas mulia ini ada di lembaga-lembaga pengajaran bahasa Arab, mulai dari tingkat dasar sampai tingkat tinggi.
Semangat mendirikan dan mengembangkan lembaga-lembaga pengajaran bahasa Arab tidak ada yang menghalangi. Berbagai sarana dipenuhi sebagai penunjang proses belajar mengajar bahasa Arab. Namun kesan yang muncul masih saja berkisar pada belum memasyarakatnya bahasa Arab. Bahasa Arab terkesan sangat sulit. Munculnya kesan bahwa bahasa Arab itu sulit berasal dari mereka yang mempelajari. Artinya, sumber sulitnya bahasa Arab itu adalah lembaga pengajaran bahasa Arab itu sendiri.
Dewasa ini berkembang rasa tidak puas atas rendahnya mutu/kualitas kemampuan berbahasa Arab dari para alumnus lembaga lembaga pendidikan Islam yang juga membidangi pengajaran bahasa Arab. Adanya kekhawatiran akan habisnya calon tokoh tokoh/ulama yang ahli bahasa Arab memunculkan gugatan terhadap tugas lembaga lembaga pengajaran bahasa Arab. Metode pengajaran dipermasalahkan : Bagaimana caranya menjadikan bahasa Arab itu tidak sulit? Pembicaraan tentang metode menjadi semarak, khususnya dalam menampilkan berbagai argumentasi untuk memasyarakatkan metode tertentu. Akibatnya inti permasalahan belum ditemukan. Dimana letak sulitnya bahasa Arab ?.

TARIK MENARIK METODE
Berkali kali diadakan seminar, diskusi mengenai metode pengajaran bahasa Arab, baik oleh badan-badan swasta, lembaga-lembaga pendidikan Islam swasta maupun pemerintah, dalam hal ini Departemen Agama dan IAIN, namun kegiatan serupa masih saja digelar sampai dewasa ini. Ini menunjukkan bahwa metode-metode yang sudah pernah dikemukakan belum bisa menjawab bagaimana caranya bahasa Arab itu mudah.
Semula metode terjemah dinilai paling cocok untuk kemampuan membaca secara efektif dan memahami isi . Kemudian muncul direct method sebagai reaksi meskipun sudah ada sejak zaman Romawi . Kemudian muncul the aural-oral approach yang sempat dinilai paling efektif karena berdasarkan prinsip prinsip linguistik . Belakangan dianjurkan memakai metode campuran yang dikenal dengan metode eklektik. Yang terakhir ini dianjurkan karena berbagai alasan yang positif, antara lain bahwa para pengajar hendaknya merasa bebas untuk memakai metode-metode yang cocok bagi pelajarnya, sehingga dimungkinkan pengajar memilih dari masing-masing metode supaya sesuai dengan kebutuhan para pelajarnya dan cocok bagi dirinya sendiri .
Gambaran berbagai metode yang telah dikaji kiranya sudah lengkap. Permasalahan yang ada tampaknya belum terpecahkan. Para pelajar yang sudah mampu berkomunikasi secara lisan dalam bahasa Arab masih sering diragukan kemampuannya dalam membaca kitab klasik/kuning/gundul. Keraguan akan kemampuan membaca kitab klasik tersebut bermula dari anggapan adanya dua kemampuan yang tampak berlawanan : 1. Mampu membaca kitab klasik/gundul tapi lemah berkomunikasi secara lisan dalam bahasa Arab, dan; 2. Mampu berbicara bahasa Arab tetapi tidak mampu/lemah dalam membaca kitab klasik.
Dalam kasus ini muncul pertanyaan bagaimana metode pengajaran bahasa Arab yang bisa menghasilkan dua kemampuan, berbicara dan membaca kitab klasik, sekaligus/secara bersamaan?
Ketidakmampuan menemukan metode yang dimaksud menyebabkan tarik menarik metode yang diterapkan di lembaga-lembaga pengajaran bahasa Arab. Hasilnya adalah tetap saja, di satu sisi "ahli" membaca kitab klasik (dalam anggapan) dan sisi lain ahli dalam berbicara tetapi lemah membaca kitab klasik. Berganti ganti dominasi keahlian yang diharapkan sesuai dengan wawasan para birokratnya.

BEBAN LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM
Pendidikan Islam dengan sifatnya yang terbuka akan senantiasa terus berkembang dan mengadopsi sistem-sistem pendidikan yang lebih baik. Pendidikan Islam model pesantren adalah hasil adopsi dari Hindu. Kemudian sampai dewasa ini banyak pesantren yang mengadopsi sistem pendidikan dari Barat sehingga lahir beberapa kampus perguruan tinggi di dalam pondok pesantren.
Perkembangan sistem selanjutnya akan tergantung pada inovasi yang sudah mapan sesuai perkembangan zaman dan wawasan para ahli pendidikan Islam. Tetapi perlu diketahui bahwa kesarjanaan para alumnus lembaga pendidikan Islam akan diuji sampai pada taraf yang paling dasar. Bagaimana mereka melafalkan basmalah atau mengucapkan salam ? Manakala tidak fasih, maka kehebatannya dalam mengemukakan argumen serta uraiannya tentang ke Islamannya meskipun mendetil dan mengagumkan akan menjadi dongeng dan kehebatannya menguap. Kemampuan melafal bahasa Arab dengan fasih dan kelancarannya membaca kitab kuning dianggap sebagai alat untuk eksistensi diri ketika kembali ke masyarakat. Ketidakmampuannya membaca kitab kuning menimbulkan kekecewaan 'senior' yang memuja kitab kuning. Pada kasus ini timbul gugatan terhadap sistem pendidikan Islam, khususnya IAIN, STAIN dan Perguruan Tinggi Perguruan Tinggi Islam yang hanya membuka jurusan sosial keagamaan. Karena itu ada keinginan untuk kembali pada sistem yang dianggap bisa memberikan keterampilan membaca kitab klasik, mungkin dengan mendirikan surau-surau kecil di dalam kampus dengan sistem pengajaran santri yang dikenal dengan bandongan dan sorogan .
Tuntutan untuk bisa membaca kitab klasik/kuning tidak akan ada pada jurusan eksakta. Karena itu para alumnus Perguruan Tinggi Perguruan Tinggi Islam dari jurusan Eksakta atau tehnik merasa aman dari gugatan untuk membaca kitab kuning atau kefasihan melafal bahasa Arab. Para alumnus dimaklumi tidak mengkaji keislaman dan kitab kuning. Mereka mampu bersaing dengan Perguruan Tinggi Perguruan Tinggi umum lainnya, bahkan sangat membanggakan. Mereka banyak mendapat toleransi ketika tidak bisa berbahasa Arab apalagi baca kitab kuning. Karena itu kualitasnya tidak dijadikan alasan untuk mempertanyakan sistem pendidikan Islam. Pada kasus ini, sistem pendidikan Islam dinilai sangat membanggakan. Tidak di tarik-tarik lagi untuk kembali pada sistem yang sudah dinilai klasik. Karena itu derap langkah lembaga pendidikan Islam yang terasa terengah-engah itu ada pada jurusan sosial keagamaan yang mempertanyakan keahlian berbahasa Arab. Permasalahannya mengapa kemampuan membaca kitab klasik dijadikan acuan keberhasilan studi di lembaga-lembaga pendidikan Islam?.

CARA MEMBACA KITAB KUNING
Kesulitan membaca kitab klasik/kuning/gundul bukan hanya dialami oleh para pemula, tetapi juga terbukti bahwa santri pondok Gontor Ponorogo masih kesulitan bahkan dinyatakan belum bisa membaca kitab kuning. Karena itu permasalahannya bukan sekedar membaca bahasa Arab, tetapi membaca kitab kuning. Demikian ini mengingat bahwa terampil berbahasa itu berjenjang dari menyimak kemudian berbicara, dari membaca kemudian menulis. Bila sudah sampai pada taraf terampil berbicara atau menulis berarti sudah melewati taraf menyimak atau membaca. Jadi yang perlu dipermasalahkan bukan metode tetapi mengapa membaca kitab klasik itu sulit? Artinya, perlu diketahui mengapa kitab klasik menimbulkan kesulitan bagi pembacanya. Jawaban ini akan dapat membuka kajian baru untuk menemukan bagaimana supaya bisa membaca kitab kuning dengan mudah.
Disebutkan bahwa para pembaca bahasa asing (selain bahasa Arab) membaca agar dapat memahami apa yang dibaca, sedangkan para pembaca bahasa Arab harus paham dulu teks yang dibaca supaya betul bacaannya. Disebutkan pula bahwa umumnya orang-orang Eropa dapat membaca dengan benar tulisan bahasa mereka, dan kemampuan membaca yang mereka miliki menjadi sarana untuk memahami maksud yang dikandung dalam bacaan, sedangkan para pembaca bahasa Arab tidak bisa membaca dengan benar kecuali jika sudah paham lebih dahulu apa yang hendak dibaca. Pernyataan-pernyataan tersebut menunjukkan bahwa untuk membaca tulisan bahasa Arab dengan benar itu harus memahami dulu maksudnya. Dengan kata lain paham dulu baru bisa membaca, selanjutnya paham untuk membaca bukan membaca untuk paham. Bila kenyataannya demikian maka tidak heran adanya kesulitan dalam membaca tulisan bahasa Arab. Hal ini disebabkan proses membaca demikian itu adalah proses yang tidak logis. Karena itu, HM. Bakalla menyatakan bahwa para pembaca tulisan bahasa Arab banyak mengalami kesulitan untuk membacanya dengan benar, karena mereka harus memikirkan teks sebelum membacanya, bahkan sering kali harus memahami lebih dulu maksud teks agar benar bacaannya.
Pernyataan-pernyataan yang menunjukkan sulitnya membaca tulisan bahasa Arab tersebut di atas tentunya tidak ditujukan pada aktivitas membaca tulisan yang sudah sempurna seperti mushaf-mushaf. Demikian ini dapat dimaklumi mengingat bahwa untuk membaca mushaf-mushaf itu tidak perlu harus memahami lebih dahulu bahkan tidak paham maksudnya pun dapat membaca dengan benar. Dengan demikian maka sulitnya membaca kitab kuning itu disebabkan tidak dilengkapinya tulisan dengan syakal yang menyebabkan proses membacanya tidak logis. Karena itu bila kitab klasik itu sudah disempurnakan dengan syakal, maka tidak ada lagi permasalahan bagaimana membaca kitab klasik, yang mana sering menimbulkan kekecewaan serta ganjalan pada lajunya sistem pendidikan Islam.
Kadang-kadang muncul anggapan bahwa untuk membaca kitab kuning itu alatnya adalah ilmu Nahwu dan Sharaf (gramatika bahasa Arab). Anggapan ini hanya muncul karena belum dipahaminya fungsi kedua ilmu tersebut. Buku Bimbingan Lanjut Membaca Kitab Tulisan Gundul, merupakan pengejawantahan anggapan tersebut. Bagi para penulis bahasa Arab, maka kedua ilmu berfungsi sebagai alat untuk menyusun tulisannya agar sesuai dengan aturan bahasa Arab yang baku dan bagi para pembaca, maka kedua ilmu itu berfungsi untuk memahami maksud yang terkandung dalam tulisan bahasa Arab yang sudah diatur dengan aturan yang baku. Bila hanya untuk membaca, maka cukuplah dilengkapi dengan syakal. Karena itu kedua ilmu nahwu dan sharaf tersebut tetap berfungsi, meskipun tulisan sudah dilengkapi dengan syakal seperti mushaf-mushaf, karena fungsi gramatika memang bukan untuk membaca.

PENUTUP
Pengajaran bahasa Arab di lembaga-lembaga pendidikan Islam yang berorientasi pada kitab kuning (dalam proses membacanya) akan menjadikan bahasa Arab itu menjadi menakutkan (momok). Aktifitasnya tidak menunjang pemasyarakatan bahasa Arab tetapi justru memetieskannya bahkan dapat membebani lajunya sistem pendidikan Islam.
Permasalahan yang perlu diselesaikan dalam proses pengajaran bahasa Arab bukan hanya metode, tetapi kesadaran bahwa komponen-komponen pengajaran hendaknya disempurnakan lebih dulu, khususnya materi pengajarannya yang berupa tulisan. Dengan demikian tidak akan lagi muncul permasalahan membaca kitab kuning. Pada gilirannya tidak ada lagi evaluasi yang menanyakan bagaimana bunyi bacaan tulisan gundul pada kitab kitab klasik/kuning, seperti perintah melengkapi dengan syakal atau perintah : A'rib hadzihi al-kalimat ...!.
Dengan evaluasi yang mengarah pada pemahaman terhadap teks yang sudah sempurna serta penyusunan kalimat yang benar, niscaya bahasa Arab akan dapat dikuasai dengan mudah dan cepat memasyarakat, semoga, amin.
Surabaya, 20 Maret 1998 Mataram, 26 Maret 1998

BIBLIOGRAFI
• Atjeh, Aboebakar, Sejarah Hidup K.H.A. Wahid Hasjim dan Karangan Tersiar, (Jakarta: t.p.,1957),43.
• Aqib, Kharisuddin, Al-Fath (Bimbingan Cepat Membaca Kitab Tulisan Gundul), (Surabaya: H.I. Press,1992),.
• Bakalla HM., Abhas al-Nadwah al-'Alamiyah al-Ula li Ta'lim al-'Arabiyah li Ghair al-Nathiqin biha, (Riyad: University of Riyad,1980,vol. I),115.
• Fiddaroini, Saidun, Efektivitas dan Efisiensi Sosialisasi Bahasa Arab, (Surabaya: CV. Cempaka,1997),82.
• Ibrahim, Abd al-'Alim, Al-Muwajjih al-Fanniy li Mudarrisi al-Lughah al-'Arabiyah, (Kairo: Dar al-Ma'arif,1978),206.
• Khuli, Muhammad Ali al, Asalib Tadris al-Lughah al-'Arabiyah, (Riyad: Al-Mamlakah al-'Arabiyah al-Sa'udiyah,1982),25-26.
• Nababan, Sri Utari Subyakto, Metodologi Pengajaran Bahasa, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama,1993),14-15.
• Poerbakawatja, Soegarda, Pendidikan dalam Alam Indonesia Merdeka, (Jakarta : t.p.1970),13-21.
• Said, Imam Ghozali, Pengembangan Bahasa Arab di Sektor Ekonomi, dalam Qimah III, (Surabaya: F. Adab,1990),28.
• Saridjo, Marwan et.al., Sejarah Pondok Pesantren di Indonesia, (Jakarta: Dharma Bhakti,1980),10.
• Sumardi, Muljanto, Pedoman Pengajaran Bahasa Arab pada Perguruan Tinggi Agama/IAIN, (Jakarta: Proyek Pengembangan Sistem Pendidikan Agama, Depag RI,1974),13.
• -------- et.al., Pengajaran Bahasa Asing : Sebuah Tinjauan dari segi Metodologi, (Jakarta: Bulan Bintang,1975),36.
• Suprayogo, Imam, Urgensi Bahasa Arab dalam Meretas Khasanah Islam Klasik, dalam Jurnal Ilmu dan Pemikiran Keagamaan (Malang: F.A. Islam Unmuh Malang,I,1996),49.
• Tarigan, Djago dan H.G. Tarigan, Teknik Pengajaran Keterampilan Berbahasa, (Bandung: Angkasa,1987),22.
• Wafi, Ali Abd al-Wahid, Fiqh al-Lughah, t.k. : Lajnah al-Bayan al-'Araby,1962),254.

BAHASA ARAB ASAL USUL BAHASA-BAHASA DI DUNIA

Bahasa Arab, Asal-Usul Bahasa-bahasa di Dunia
Oleh : Annisa Sholihah

Bahasa Arab dan Inggris adalah bahasa dunia. Keduanya memiliki akar sejarah yang amat panjang dan warisan peradaban yang paling banyak, apalagi Bahasa Arab. Sebagian besar penduduk dunia memakai dua bahasa internasional ini. Oleh karena itu, tidak salah jika para cendekiawan mengatakan, “Dengan menguasai Bahasa Arab-Inggris, kita akan menguasai dua kehidupan dunia.”
Gejala kebahasaan itu kemudian ditangkap para peminat “pasar bahasa”, baik yang berkecimpung dalam dunia pendidikan, politik, ekonomi, dan bahkan penerbitan. Mereka mendirikan sekolah-sekolah bahasa, laboratorium bahasa dan berbagai macam kegiatan kebahasaan, termasuk di antaranya lomba pidato bahasa asing di sekolah-sekolah.
Sejak Bahasa Arab yang tertuang di dalam Al-Qur’an didengungkan hingga kini, semua pengamat baik Barat maupun orang muslim Arab menganggapnya sebagai bahasa yang memiliki standar ketinggian dan keelokan linguistik yang tertinggi, yang tiada taranya (the supreme of linguistic excellence and beauty).
Hal ini, tentu saja berdampak pada munculnya superioritas sastra dan filsafat bahkan pada sains seperti ilmu matematika, kedokteran, ilmu bumi, dan tata Bahasa Arab sendiri pada masa-masa kejayaan Islam setelahnya. Keunggulan bahasa Arab ada pada kekayaannya, pengertian-pengertian niskala (abstrak) dan ketepatan makna (semantic precision) serta kemungkinan pembentukan kata turunan (derivation).
* * *
Seorang dosen linguistik di sebuah universitas terkemuka di Inggris menghabiskan waktu selama puluhan tahun untuk mengkaji beberapa dokumentasi ilmiah, literatur, manuskrip, ensiklopedi, dan lain sebagainya untuk mencapai hasil yang memuaskan. Dia adalah Prof. Dr. Tahiyya ‘Abdul ‘Aziz yang mengarang kitab berbahasa Inggris “Arabic Language the Origin of Languages” (Bahasa Arab, Asal-usul Bahasa-bahasa di Dunia).

Di dalam kitab tersebut terdapat beberapa artikel dan esai, serta sekaligus kata-kata yang berpadanan (lafazh musytarak) seperti :
[1] antara Bahasa Arab dan Bahasa Inggris,
[2] antara Bahasa Arab dan Bahasa Latin,
[3] antara Bahasa Arab dan Bahasa Hiroglypa,
[4] antara Bahasa Arab dan Bahasa Jerman,
[5] antara Bahasa Arab dan Bahasa Anglo-Saxon,
[6] antara Bahasa Arab dan Bahasa Perancis,
[7] antara Bahasa Arab dan Bahasa Eropa Kuno,
[8] antara Bahasa Arab dan Bahasa Yunani,
[9] antara Bahasa Arab dan Bahasa Itali,
[10] antara Bahasa Arab dan Bahasa Sansekerta, dan lain sebagainya.

Menurut Prof. Dr. Tahiyya ‘Abdul ‘Aziz, bahasa Arab merupakan asal-usul dari semua bahasa di dunia disebabkan antara lain :
[1] Kosakata Bahasa Arab sangat luas dan kaya.
Sedangkan bahasa-bahasa lainnya miskin akan kosakata. Bahasa Latin memiliki tujuh ratus akar kata dan Bahasa Saxonia mempunyai seribu akar kata saja. Sementara Bahasa Arab memilki enam belas ribu akar kata.
Bahasa Arab luas dalam kata kerja, asal kata, dan susunan kalimatnya. Contohnya kata sifat “good” dalam Bahasa Inggris atau “jayyid” dalam Bahasa Arab, di mana keduanya memilki kesamaan dalam pengucapannya, yang artinya adalah bagus. Akan tetapi, kita akan mendapatkan kata lain yang merupakan derivasi (penyimpangan, yang berbeda) dari kata “jayyid” tersebut, yaitu Al-Jaud, Al-Jaudah, Al-Ijadah, Yujiidu, Yajudu, Jawaad, Jiyaad, dan lain sebagainya. Akan tetapi kita tidak menemukan kosakata lain yang berasal dari kata “good”.
Bahasa Arab kaya akan sinonim (persamaan arti kata). Misal Al-Asad yang artinya singa, mempunyai sinonim yang banyak sekali. Di antaranya
adalah Al-Laits, Al-Ghadanfar, As-Sabu’u, Ar-Ri’baal, Al-Hizbar, Adh-Dhargaam, Ad-Dhaigam, Al-Wardu, Al-Qaswar, dan lain sebagainya.
[2] Tiap Huruf dalam Bahasa Arab mempunyai simbol, tanda, dan arti tersendiri.
Contohnya adalah huruf ha’, di mana ia mengandung arti yang berkonotasi kepada sesuatu yang tajam dan panas, seperti Al-Hummaa (penyakit panas, demam), Al-Haraara (panas), Al-Hurr (yang bebas dan merdeka), Al-Hubb (kecintaan), Al-Hariiq (kebakaran), Al-Hiqd (kedengkian), Al-Hamiim (teman akrab), Al-Hamzhal (buah parai), Al-Hirriif (yang pedas), Al-Haraam (yang dilarang), Al-Hariir (kain sutera), Al-Hanaan (kasih sayang), Al-Haadd (yang tajam), Al-Haqq (kebenaran) dan lain-lain.
Contoh lainnya adalah huruf kha’ mempunyai konotasi kepada segala sesuatu yang tidak
disukai atau dihindari, seperti dalam kata; Al-Khauf (ketakutan), Al-Khizyu (kehinaan), Al-Khajal (malu), Al-Khiyaanah (pengkhianatan), Al-Khalaa’ah (pencabulan), Al-Khinzir (babi), Al-Khizlaan (kekecewaan), dan lain sebagainya.
Sudah menjadi sunnatullah (hukum alam) bahwa yang merasa kekurangan akan meminta bantuan kepada yang kelebihan. Demikianlah analoginya, bahwa bahasa lain yang merasa kekurangan akan “mengadopsi” Bahasa Arab yang kaya dengan kosa katanya, serta menganggapnya sebagai bahasa induk bagi semua bahasa di dunia.
Haa Miim. Diturunkan dari Tuhan Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
Kitab yang dijelaskan ayat-ayatnya, yakni bacaan dalam bahasa Arab,
untuk kaum yang mengetahui.
(Al-Qur’an Al-Karim Surah Fushshilat [41] : ayat 3)
Wallahu a’lam bish-showab wa ‘afwu minkum

Sumber: http://foswat.wordpress.com

Selasa, 01 November 2011

PENTINGNYA BAHASA ARAB

Pentingnya Bahasa Arab

Barangsiapa ingin masuk SURGA,maka pelajarilah agama ini.
Barangsiapa ingin pandai dalam urusan agama ini, pelajarilah Bahasa Arab.
Bahasa Arab bukan hanya untuk orang Arab saja.
Bahasa Arab bukan hanya untuk TKI saja.
Bahasa Arab untuk orang Islam semuanya
Hayya Nata'allamul Arabiyyah ...
Let's Learn Arabic Language ...

Imam Asy-Syafi’i rahimahullah mengatakan:
Manusia menjadi buta agama, bodoh dan selalu berselisih paham lantaran mereka meninggalkan bahasa Arab, dan lebih mengutamakan konsep Aristoteles. (Siyaru A’lamin Nubala, 10/74.)

Itulah ungkapan Imam Syafi’i buat umat, agar kita jangan memarginalkan bahasa kebanggaan umat Islam. Seandainya sang imam menyaksikan sikap umat sekarang ini terhadap bahasa Arab, tentulah keprihatinan beliau akan semakin memuncak.

Bahasa Arab berbeda dengan bahasa-bahasa lain yang menjadi alat komunikasi di kalangan umat manusia. Ragam keunggulan bahasa Arab begitu banyak. Idealnya, umat Islam mencurahkan perhatiannya terhadap bahasa ini. Baik dengan mempelajarinya untuk diri mereka sendiri ataupun memfasilitasi dan mengarahkan anak-anak untuk tujuan tersebut.

Di masa lampau, bahasa Arab sangat mendapatkan tempat di hati kaum muslimin. Ulama dan bahkan para khalifah tidak melihatnya dengan sebelah mata. Fashahah (kebenaran dalam berbahasa) dan ketajaman lidah dalam berbahasa menjadi salah satu indikasi keberhasilan orang tua dalam mendidik anaknya saat masa kecil.

Redupnya perhatian terhadap bahasa Arab nampak ketika penyebaran Islam sudah memasuki negara-negara ‘ajam (non Arab). Antar ras saling berinteraksi dan bersatu di bawah payung Islam. Kesalahan ejaan semakin dominan dalam perbincangan. Apalagi bila dicermati realita umat Islam sekarang pada umumnya, banyak yang menganaktirikan bahasa Arab. Yang cukup memprihatinkan, para orang tua kurang mendorong anak-anaknya agar dapat menekuni bahasa Arab ini.

Keistimewaan Bahasa Arab

1. Bahasa Arab adalah bahasa Al Quran. Allah ta’ala berfirman: “Sesungguhnya Kami telah menjadikan Al-Quran dalam bahasa Arab, supaya kalian memahaminya.” (QS. Az Zukhruf: 3)
2. Bahasa Arab adalah bahasa Nabi Muhammad dan bahasa verbal para sahabat. Hadits-hadits Nabi yang sampai kepada kita dengan berbahasa Arab. Demikian juga kitab-kitab fikih, tertulis dengan bahasa ini. Oleh karena itu, penguasaan bahasa Arab menjadi pintu gerbang dalam memahaminya.
3. Susunan kata bahasa Arab tidak banyak. Kebanyakan terdiri atas susunan tiga huruf saja. Ini akan mempermudah pemahaman dan pengucapannya.
4. Indahnya kosakata Arab. Orang yang mencermati ungkapan dan kalimat dalam bahasa Arab, ia akan merasakan sebuah ungkapan yang indah dan gamblang, tersusun dengan kata-kata yang ringkas dan padat.

Petunjuk Urgensi Belajar Bahasa Arab

1. Teguran Keras Terhadap Kekeliruan Dalam Berbahasa
Berbahasa yang baik dan benar sudah menjadi tradisi generasi Salaf. Oleh karena itu, kekeliruan dalam pengucapan ataupun ungkapan yang tidak seirama dengan kaidah bakunya dianggap sebagai cacat, yang mengurangi martabat di mata orang banyak. Apalagi bila hal itu terjadi pada orang yang terpandang.
Ibnul Anbari menyatakan: “Bagaimana mungkin perkataan yang keliru dianggap baik…? Bangsa Arab sangat menyukai orang yang berbahasa baik dan benar, mereka memandang orang-orang yang keliru dengan sebelah mata dan menyingkirkan mereka”.
Umar bin Khaththab pernah mengomentari cara memanah beberapa orang dengan berucap: “Alangkah buruk bidikan panah kalian”. Mereka menjawab, “Nahnu qawmun muta’alimiina (kami adalah para pemula)”, (Seharusnya: Nahnu Qawmun Muta’alimuuna - mereka salah dalam bahasa -ed) maka Umar berkata, “Kesalahan berbahasa kalian lebih fatal menurutku daripada buruknya bidikan kalian…” (Al Malahin, karya Ibnu Duraid Al Azdi, hlm. 72)

2. Perhatian Salaf Terhadap Bahasa Arab
Umar bin Khaththab pernah menulis surat kepada Abu Musa yang berisi pesan: “Amma ba’du, pahamilah sunnah dan pelajarilah bahasa Arab”.
Pada kesempatan lain, beliau mengatakan: “Semoga Allah merahmati orang yang meluruskan lisannya (dengan belajar bahasa Arab)”.
Pada kesempatan lain lagi, beliau menyatakan: “Pelajarilah agama, dan ibadah yang baik, serta dalamilah bahasa Arab”.
Beliau juga mengatakan: “Pelajarilah bahasa Arab, sebab ia mampu menguatkan akal dan menambah kehormatan”. (Tarikh Umar bin Khathab, karya Ibnul Jauzi, 225)
Para ulama tidak mengecilkan arti bahasa Arab. Mereka tetap memberikan perhatian yang besar dalam menekuninya, layaknya ilmu syar’i lainnya. Sebab bahasa Arab adalah perangkat dan sarana untuk memahami ilmu syariat.
Imam Syafi’i pernah berkata: “Aku tinggal di pedesaan selama dua puluh tahun. Aku pelajari syair-syair dan bahasa mereka. Aku menghafal Al Qur’an. Tidak pernah ada satu kata yang lewat olehku, kecuali aku memahami maknanya”.
Imam Syafi’i telah mencapai puncak dalam penguasaan bahasa Arab, sehingga dijuluki sebagai orang Quraisy yang paling fasih pada masanya. Dia termasuk yang menjadi rujukan bahasa Arab.
Ibnul Qayyim juga dikenal memiliki perhatian yang kuat terhadap bahasa Arab. Beliau mempelajari dari kitab Al Mulakhkhash karya Abul Baqa’, Al Jurjaniyah, Alfiyah Ibni Malik, Al Kafiyah Asy Syafiah dan At Tashil, Ibnul Fathi Al Ba’li. Beliau juga belajar dari Ali bin Majd At Tusi.
Ulama lain yang terkenal memiliki perhatian yang besar terhadap bahasa Arab adalah Imam Syaukani. Ulama ini menimba ilmu nahwu dan sharaf dari tiga ulama sekaligus, yaitu: Sayyid Isma’il bin Al Hasan, ‘Allamah Abdullah bin Ismail An Nahmi, dan ‘Allamah Qasim bin Muhammad Al Khaulani.

3. Anak-Anak Khalifah Juga Belajar Bahasa Arab
Para khalifah, dahulu juga memberikan perhatian besar terhadap bahasa Arab. Selain mengajarkan pada anak-anak dengan ilmu-ilmu agama, mereka juga memberikan jadwal khusus untuk memperdalam bahasa Arab dan sastranya. Motivasi mereka, lantaran mengetahui nilai positif bahasa Arab terhadap gaya ucapan mereka, penanaman budi pekerti, perbaikan ungkapan dalam berbicara, modal dasar mempelajari Islam dari referensinya. Oleh karena itu, ulama bahasa Arab juga memiliki kedudukan dalam pemerintahan dan dekat dengan para khalifah. Para pakar bahasa menjadi guru untuk anak-anak khalifah.
Al Ahmar An Nahwi berkata, “Aku diperintahkan Ar Rasyid untuk mengajarkan sastra Arab kepada anaknya, Muhammad Al Amin. Al Makmun dan Al Amin juga pernah dididik pakar bahasa yang bernama Abul Hasan ‘Ali bin Hamzah Al Kisai yang menjadi orang dekat Khalifah. Demikian juga pakar bahasa lain yang dikenal dengan Abu Ishaq Ibrahim bin Muhammad bin As Sari mengajari anak-anak Khalifah AlMu’tadhid pelajaran bahasa Arab. Juga Abu Qadim Abu Ja’far Muhammad bin Qadim mengajari Al Mu’taz sebelum memegang tampuk pemerintahan”.
Bahasa Arab adalah bahasa yang terbaik di dunia, karena Allah memilihnya menjadi bahasa yang digunakan di dalam kitab-Nya yang mulia. Selain itu, bahasa Arab memang memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap pendidikan. Terutama dalam memahami Islam dengan baik dan benar. Hendaknya kaum muslimin bersemangat dalam mempelajarinya. Semoga saja.

Pengaruh Bahasa Arab Untuk Pendidikan
1. Mempermudah Penguasaan Terhadap Ilmu Pengetahuan
Islam sangat menekankan pentingnya aspek pengetahuan melalui membaca. Allah ta’ala berfirman, “Bacalah dengan nama Rabb-mu yang menciptakan.” (QS. Al ‘Alaq: l)
Melalui bahasa Arab, orang dapat meraih ilmu pengetahuan. Sebab bahasa Arab telah menjadi sarana mentransfer pengetahuan. Bukti konkretnya, banyak ulama yang mengabadikan berbagai disiplin ilmu dalam bait-bait syair yang lebih dikenal dengan nazham (manzhumah atau nazhaman). Dengan ini, seseorang akan relatif lebih mudah mempelajarinya, lantaran tertarik pada keindahan susunannya, dan menjadi keharusan untuk menghafalnya bagi orang yang ingin benar-benar menguasainya dengan baik.
Sebagai contoh, kitab Asy Syathibiyah Fi Al Qiraati As Sab’i Al Mutawatirati ‘Anil Aimmati Al Qurrai As Sab’ah, adalah matan syair yang berisi pelajaran qiraah sab’ah, karangan Imam Al Qasim bin Firah Asy Syathibi. Buku lain yang berbentuk untaian bait syair, Al Jazariyah, yaitu buku tentang tajwid karya Imam Muhammad bin Muhammad Al Jazari. Dalam bidang ilmu musthalah hadits, ada kitab Manzhumah Al Baiquniyah, karya Syaikh Thaha bin Muhammad Al Baiquni. Dan masih banyak contoh lainnya.

2. Meningkatkan Ketajaman Daya Pikir
Dalam hal ini, Umar bin Khaththab berkata, “Pelajarilah bahasa Arab. Sesungguhnya ia dapat menguatkan akal dan menambah kehormatan.”
Pengkajian bahasa Arab akan meningkatkan daya pikir seseorang, lantaran di dalam bahasa Arab terdapat susunan bahasa indah dan perpaduan yang serasi antar kalimat. Hal itu akan mengundang seseorang untuk mengoptimalkan daya imajinasinya. Dan ini salah satu faktor yang secara perlahan akan menajamkan kekuatan intelektual seseorang. Pasalnya, seseorang diajak untuk merenungi dan memikirkannya. Renungkanlah firman Allah ta’ala, “Barangsiapa yang menyekutukan sesuatu dengan Allah, maka ia seolah-olah jatuh dari langit lalu disambar oleh burung atau diterbangkan angin ke tempat yang jauh.” (QS Al Hajj: 31)
Lantaran dahsyatnya bahaya syirik kepada Allah, maka permisalan orang yang melakukannya bagaikan sesuatu yang jatuh dari langit yang langsung disambar burung sehingga terpotong-potong tubuhnya. Demikian perihal orang musyrik, ketika ia meninggalkan keimanan, maka syetan-syetan ramai-ramai menyambarnya sehingga terkoyak dari segala sisi, agama dan dunianya, mereka hancurkan. (Tafsir As Sa’di)

3. Mempengaruhi Pembinaan Akhlak
Orang yang menyelami bahasa Arab, akan membuktikan bahwa bahasa ini merupakan sarana untuk membentuk moral luhur dan memangkas perangai kotor.
Berkaitan dengan itu, Ibnu Taimiyah berkata: “Ketahuilah, perhatian terhadap bahasa Arab akan berpengaruh sekali terhadap daya intelektualitas, moral, agama (seseorang) dengan pengaruh yang sangat kuat lagi nyata. Demikian juga akan mempunyai efek positif untuk berusaha meneladani generasi awal umat ini dari kalangan sahabat, tabi’in dan meniru mereka, akan meningkatkan daya kecerdasan, agama dan etika”. (Iqtidha Shiratil Mustaqim, hlm. 204)

Misalnya, penggalan syair yang dilantunkan Habib bin Aus yang menganjurkan berperangai dengan akhlak yang baik:

Manusia senantiasa dalam kebaikan,
selama ia mempunyai rasa malu
Batang pohon senantiasa abadi,
selama kulitnya belum terkelupas
Demi AIlah, tidak ada sedikit pun kebaikan dalam kehidupan,
Demikian juga di dunia, bila rasa malu telah hilang sirna
Juga ada untaian syair yang melecut orang agar menjauhi tabiat buruk.
Imam Syafi’i mengatakan:
Bila dirimu ingin hidup
dengan bebas dari kebinasaan,
(juga) agamamu utuh dan kehormatanmu terpelihara,
Janganlah lidahmu
mengungkit cacat orang,
Tubuhmu sarat dengan aib, dan orang (juga)
memiliki lidah.

Jadi, bahasa Arab tetap penting, Bahkan menjadi ciri khas kaum muslimin. Seyogyanya menjadi perhatian kaum muslimin. Dengan memahami bahasa Arab, penguasaan terhadap Al Qur’an dan As Sunnah menjadi lebih mudah. Pada gilirannya, akan mengantarkan orang untuk dapat menghayati nilai-nilainya dan mengamalkannya dalam kehidupan.

Diangkat dari Al Atsaru At Tarbawiyah Li Dirasati Al Lughah Al ‘Arabiyyah, karya Dr. Khalid bin Hamid Al Hazimi, dosen Fakultas Dakwah dan Ushuluddin Universitas Islam Madinah. Majalah jami’ah Islamiyyah, edisi 125 Th. 1424 H. Disalin dari Majalah As-Sunnah edisi 02/IX/1426H, Rubrik Baituna, hal. 05 - 08.

Disalin oleh badar online dari http://blog.vbaitullah.or.id

SEJARAH PERKEMBANGAN BAHASA ARAB

Sejarah Perkembangan Bahasa Arab

Dalam sejarah perkembangan bahasa Arab, terdiri dari beberapa periode, antara lain:

1. Periode Jahiliyah.
Periode ini munculnya nilai-nilai standarisari pembentukan bahasa arab fusha, dengan adanya beberapa kegiatan peting yang telah menjadi tradisi masyarakat Makkah . Kegiatan tersebut berupa festival syair-syair Arab yang diadakan di pasar Ukaz, Majannah, Zul Majah yang akhirnya mendorong tersiar dan meluasnya bahasa Arab, yang pada akhirnya kegiatan tersebut dapat membentuk stsndarisasi bahasa Arab fusha dan kesusasteraannya.

2. Periode Permulaan Islam.
Turunnya Al – Quran dengan membawa kosa kata baru dengan jumlah yang sangat luar biasa banyaknya menjadikan bahasa Arab sebagai suatu bahasa yang telah sempurma baik dalam mufradat, makna, gramatikal dan ilmu–ilmu lainnya. Adanya perluasan wilayah-wilayah kekuasaan Islam sampai berdirinya daulah Umayah. Setelah berkembang kekuasaan Islam, maka orang-orang Islam Arab pindah ke negeri baru, sampai masa Khulafa Al-Rasyidin.

3. Periode Bani Umayah.
Terjadinya percampuran orang-orang arab dengan penduduk asli akibat adanya perluasan wilayah Islam. Adanya upaya-upaya orang Arab untuk menyebarkan bahasa arab ke wilayah melalui ekspansi yang beradab. Melakukan arabisasi dalam berbagai kehidupan, sehingga penduduk asli mempelajari bahasa Arab sebagai bahasa agama dan pergaulan.

4. Periode Bani Abasiyah.
Pemerintahan Abasiyah berkeyakinan bahwa kejayaan pemerintahannya dapat bertahan bila bergantung kepada kemajuan agama Islam dan bahasa Arab. Kemajuan agama Islam dipertahankan dengan cara melaksanakan kegiatan pembedahan Al-Quran terhadap cabang-cabang disiplin ilmu pengetahuan baik ilmu agama ataupun ilmu pengetahuan lainnya. Bahasa Arab Badwi yang bersifat alamiah ini tetap dipertahankan dan dipandang sebagai bahasa yang bermutu tinggi dan murni yang harus dikuasai oleh putra-putra bani Abas. Pada abad ke 4 H bahasa Arab fusha sudah menjadi bahasa tulisan untuk keperluan administrasi, kebudayaan, ilmu pengetahuan, dan bahasa Arab mulai dipelajari melalui buku-buku, sehingga bahasa fusha berkembang dan meluas.

5. Periode Sesudah abad ke 5 H. Pada periode ini bahasa Arab tidak lagi menjadi bahasa politik dan adminisrasi pemerintahan, tetapi hanya menjadi bahasa agama. Hal ini terjadi setelah dunia Arab terpecah dan diperintah oleh penguasa politik non Arab “Bani Saljuk” yang mendeklarasikan bahasa Persia sebagai bahasa resmi negara Islam di bagian timur, sementara Turki Usmani yang menguasai dunia Arab yang lainnya mendeklarasikan bahwa bahasa Turki sebagai bahasa administrasi pemerintahan. Sejak saat itu sampai abad ke7 H bahasa Arab semakin terdesak.

6. Periode bahasa Arab di Zaman Baru.
Bahasa Arab bangkit kembali yang dilandasi adanya upaya-upaya pengembangan dari kaum intelektual Mesir yang mendapat pengaruh dari golongan intelektual Eropa yang datang bersama serbuan Napoleon.
a. Bahasa Arab sebagai bahasa pengantar di sekolah. Waktu-waktu perkuliahan disampaikan dengan bahasa Arab.
b. Munculnya gerakan menghidupkan warisan budaya lama dan menghidupkan penggunaan kosakata asli yang berasal dari bahasa fusha.
c. Adanya gerakan yang yang telah berhasil mendorang penerbit dan percetakan di negara-negara Arab untuk mencetak kembali buku-buku sastra Arab dari segala zaman dalam jumlah yang sangat besar dan berhasil pula menerbitkan buku-buku dan kamus bahasa Arab.

Munculnya kesadaran dari intelektual arab yang mempertahankan bahasa Arab dari berbagai kritikan terhadap bahasa arab yang datang dari non arab atau dari orang arab sendiri untuk mempertahankan bahasa Arab, tidak hanya sebagai bahasa agama, melainkan sebagai bahasa nasional dan diwujudkan melalui :
a. adanya usaha-usaha pembinaan dan pengembangan bahasa Arab seperti Majma’ al-Lughah al-Arabiyyah tahun 1934 di Mesir. Tujuannya adalah untuk memelihara keutuhan dan kemurnian bahasa fusha dan melakukan usaha–usaha pengenbangan agar menjadi bahasa yang dinamis, maju dan mampu memenuhi tuntutan kemajuan dunia ilmu pengetahuan, teknologi dan budaya.
b. Mendirikan lembaga pendidikan, khususnya pengajaran bahasa Arab seperti Al-Azhar jurusan bahasa Arab. Perhatian bangsa Arab tidak hanya terjadi di Mesir tetapi terjadi pula di negara Arab lainnya.

http:// marihanafiah.wordpress.com

DALIL-DALIL PENTINGNYA BELAJAR BAHASA ARAB

Dalil-dalil Pentingnya Belajar Bahasa Arab
H. Ilyas Rifai

1. Al-Quran

"Sesungguhnya kami menurunkannya berupa Al Quran dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya" (Q.S. Yusuf: 2).

2. Al-Hadits
"Cintailah bahasa arab karena tiga: karena aku berbangsa arab, Al-qur’an berbahasa arab, dan kalam ahlu al-jannah (penduduk surga) adalah bahasa arab”. Disebutkan oleh ibnu ‘asakir dalam terjemah zahir ibn Muhammad ibn ya’qub.

3. Atsar Sahabat
Salah seorang Khulafaur Rasyidin, ‘Umar bin Khaththab ra. menulis surat untuk Abu Musa Al Asy’ari yang isinya mengatakan,”Amma ba’du. Dalamilah ilmu As Sunnah. Pelajarilah ilmu bahasa Arab. I’rablah Al Qur’an, sebab ia itu berbahasa Arab”. Beliau pun berpesan,”Pelajarilah bahasa Arab karena sesungguhnya ia adalah bagian penting dari agama kalian. Pelajarilah ilmu waris, karena ia juga bagian penting dari agama kalian.”

4. Qoul Ulama
Imam Syafi’i rahimahullah berkata: “Tidaklah kebodohan dan perbedaan-perbedaan yang terjadi pada manusia (umat muslim) melainkan karena mereka meninggalkan bahasa Arab dan mereka lebih memilih bahasa Aristoteles (bahasa orang barat)”.
“Tak seorang pun akan mengetahui jelasnya ilmu-ilmu dalam Al Qur’an selama orang itu tidak mengetahui luasnya bahasa Arab, luasnya cakupannya, luasnya masalah dan tingkatannya dan barangsiapa memahaminya maka dia akan selamat dari terkena syubhat seperti yang terjadi pada orang-orang yang tidak memahaminya”.
Beliau pun berkata : “Wajib bagi setiap muslim mempelajari bahasa Arab dengan mengerahkan kemampuannya, hingga ia dapat bersyahadat dengannya, dapat membaca al-Qur’an dengannya, dapat mengucapkan dzikir-dzikir yang diwajibkan baginya (dalam shalat) berupa takbir, tasbih, tasyahud dan lain-lainnya.” (Ar-Risalah 48-50, Ithaful Ilfi hal. 15)

Imam Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan,”Hal itu dikarenakan bahasa Arab merupakan bahasa yang paling fasih, bahasa yang paling gamblang dalam hal pemaparan, bahasa yang paling luas cakupannya, dan bahasa yang paling banyak menyentuh berbagai makna yang dirasakan di dalam jiwa. Oleh sebab itulah kitab yang paling mulia ini diturunkan dengan bahasa yang paling mulia pula…”

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah telah berkata: “Merupakan sesuatu yang sudah diketahui bersama bahwasanya belajar dan mengajarkan bahasa Arab hukumnya fardhu kifayah” dan beliau juga berkata, “Sesungguhnya bahasa Arab merupakan bagian dari agama dan mengetahuinya wajib, karena memahami Al-Qur’an dan sunnah wajib. Dan keduanya tidak dapat dipahami kecuali dengan bahasa Arab dan apa yang suatu kewajiban tidak akan terwujud kecuali dengannya maka sesuatu itu menjadi wajib.”
Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,“Sesungguhnya tatkala Allah menurunkan kitab-Nya dengan bahasa Arab, tatkala Allah mengangkat Rasul-Nya sebagai penyampai Al Kitab dan Al Hikmah dari-Nya melalui lisan beliau yang berbahasa Arab, tatkala Allah menjadikan orang-orang yang terdahulu membela agama ini dalam keadaan bertutur kata dengan bahasa itu, dan terlebih lagi tatkala tidak ada cara lain untuk
memelihara keutuhan ajaran agama dan memahaminya kecuali dengan menjaga bahasa ini, maka itu berarti mempelajarinya termasuk bagian dari ajaran agama dan akan lebih memudahkan orang dalam menegakkan syi’ar-syi’ar agama.”

Syaikhul Islam mengatakan: “Dan sesungguhnya bahasa Arab itu sendiri bagian dari agama dan hukum mempelajarinya adalah wajib, karena memahami Al-Kitab dan As-Sunnah itu wajib dan keduanya tidaklah bisa difahami kecuali dengan memahami bahasa Arab. Hal ini sesuai dengan kaidah : Apa yang tidak sempurna suatu kewajiban kecuali dengannya maka ia juga hukumnya wajib. Namun disana ada bagian dari bahasa Arab yang wajib ‘ain dan ada yang wajib kifayah.” (Iqtidho shirothil mustaqim)

As-Suyuti rahimahullah berkata: “Sesungguhnya saya telah menemukan orang-orang sebelum Imam Syafi’i, mereka mengisyaratkan seperti yang saya duga bahwa sebab terjadinya bid’ah adalah tidak memahami bahasa Arab”.

Hasan Bashri berkata terhadap orang-orang Ahlu Bid’ah, “Yang menghancurkan mereka adalah ketidaktahuan mereka terhadap bahasa Arab”.

Musthofa Shodiq Arrofi’ berkata, “Tidaklah bahasa suatu kaum itu rendah kecuali mereka akan direndahkan dan kemuliaannya tidaklah menjadikan kekuasaan itu pergi meninggalkan mereka. Oleh karena itu, penjajah asing mewajibkan (bahasa mereka untuk dipelajari) kepada kaum yang mereka jajah".

Disarikan dari berbagai sumber.

7 KUNCI SUKSES BELAJAR BAHASA ARAB

7 Kunci Kiat Sukses Belajar Bahasa Arab (bag-1)
Oleh: M. Asdi Nurkholis, S.Pd.I.*

Bahasa Arab adalah bahasa kaum muslimin. Hingga akhir zaman nanti bahasa ini akan tetap langgeng sebab al-Qur`an dan hadits Rasulullah shalallahu`alahi wa sallam akan terus ada dan eksis hingga saat itu. Maka sudah menjadi kewajiban kita sebagai kaum muslimin untuk mempelajarinya dan berusaha seoptimal mungkin untuk dapat menguasai kemahiran bahasa ini. Bahkan wajib bagi kita untuk mendalaminya sebagai sarana kita untuk memahami kitabullah dan sunnah Rasulullah shalallahu`alaihi wa sallam.
Berikut kami paparkan kiat sukses dalam mempelajari bahasa Arab, dan tulisan ini kami sadurkan dari beberapa buku adab menuntu ilmu, materi-materi pelatihan pengajaran bahasa Arab untuk orang non Arab, jurnal pembelajaran bahasa Arab dan juga pengalaman pribadi penulis selama proses belajar bahasa Arab.
Penulis melihat kiat sukses ini dari dua sisi, pertama: sisi intern; yaitu dari dalam diri para pembelajar bahasa Arab; yang terdiri dari niat, tekad, senang dan sabar. Kedua: dari sisi ekstern; yaitu dari sisi bahasa Arab itu sendiri; yang terdiri dari bahasa adalah komunikasi, belajarlah bahasa itu dan biasakan belajar terbimbing.

Intern:
1. Niat
Niat merupakan pondasi penting yang harus kita tanyakan kepada diri kita sebelum kita melangkah lebih jauh. Kita sebagai seorang muslim patut dan harus menata kembali niat kita dalam setiap langkah untuk sebuah urusan kita, jangan sampai kita sudah melangkah begitu jauh, mengorbankan seluruh harta, jiwa, raga dan harta, namun sayang beribu sayang semua yang kita keluarkan sia-sia bagai debu berterbangan tiada artinya disebabkan karena niatnya yang kurang pas dan jauh melenceng dari tuntunan syari`at Islam. Sebagai seorang muslim, kita diberikan kemudahan oleh Allah ta`ala agar menjadikan setiap aktivitas kita bernilai ibadah, tentunya dengan niat semata-mata mengharap wajah dan ridha Allah subhanahu wa ta`ala. Kita ingat apa yang dikatakan oleh Sufyan Al-Tsauri rahimahullah:
“ما عالجت شيئا أشد علي من نيتي”
“Tidak ada sesuatu yang lebih sulit bagiku kecuali niatku”1.
Dalam mempelajari bahasa Arab, niat awal kita tentunya hanya untuk mengharap wajah Allah ta`ala. Belajar bahasa Arab bukan untuk riya`, pamer, biar dikatakan syekh Arab, bukan pula untuk tujuan duniawi, menambah sisi materi, atau untuk mengangkat harga diri dan lain sebagainya. Rasulullah shalallahu`alaihi wa sallam bersabda:
« من تعلم علمًا يبتغي به وجه الله - عز وجل - لا يتعلمه إلا ليصيب به عرضًا من الدنيا
لم يجد عرف الجنة يوم القيامة »
“Barang siapa yang belajar suatu ilmu dengan mengharap wajah Allah `azza wa jalla, kemudian dia tidak belajar kecuali hanya untuk mendapatkan secuil dari urusan dunia, maka sedikitpun dia tidak akan mendapatkan bau harumnya surga”2.
Perlu diingat, bahwa ketika kita belajar bahasa Arab, kita tidak hanya belajar bahasa Arab itu semata, namun sambil belajar kita juga berharap dapat meningkatkan kualitas pengetahuan keislaman kita dan pengetahuan umum yang tidak bertentangan dengan syari`at Islam3.
2. Tekad
Sebuah rencana pasti mempunyai tujuan, untuk mencapai tujuan tersebut harus bermodalkan tekad yang kuat dan bersungguh-sungguh, terus berjuang pantang menyerah. Ada sebuah ungkapan Arab yang mengatakan:
فإن العلم لا يُنَال براحة الجسم
“Bahwa Ilmu itu tidak akan pernah didapat dengan bersantai-santai”.
Kita lihat bagaimana kisah Imam Al-Kasa`I, Imam penduduk Kufah dalam ilmu Nahwu. Ketika beliau memulai belajar nahwu, beliau merasa tidak pernah bisa dan hampir putus asa, suatu hari beliau melihat seekor semut merangkak di dinding membawa sepotong makanan, ketika mulai merangkak dia terjatuh, lalu bangun kembali, membawa makanan tadi dan terus merambat ke dinding, dia terus berusaha dan bertekad untuk terus membawa makan tersebut dan berjalan. Imam al-Kasa`I berkata: “Semut ini begitu kuat tekadnya hingga sampai ke tujuan”, maka beliau pun terus berjuang dan akhirnya menjadi Imam dalam ilmu nahwu4.
Dalam sebuah pepatah Arab dikatakan:
من جدّ وجد
“Barang siapa bersungguh-sungguh pasti ia akan mendapatkan”.
Fenomena perjalanan dalam mempelajari bahasa Arab, orang akan terlihat begitu semangat dan menggebu-nggebu diawal-awal belajar, namun setelah dua atau tiga pekan berjalan, akan terjadi seleksi alami, satu persatu berguguran absen tidak bisa ikut belajar bahasa Arab. Maka dari sini perlunya tekad yang bulat dan kesungguhan dalam belajar bahasa Arab untuk mencapai tujuan yang kita cita-citakan.
3. Senang
Kecintaan kapada bahasa Arab menjadi sebuah harga mati sebagai sarana untuk meraih kesuksesan dalam mempelajarinya. Seseorang yang memiliki kecintaan kepada sesuatu atau kepada seseorang pasti dia akan mengelu-elukannya, dan terus berusaha untuk bisa mendapatkannya walaupun harus berkorban, baik waktu, biaya maupun tenaga. Orang yang senang dengan salah satu mata kuliah pasti dia akan rajin masuk kelas walau kadang lagi sakit, merasa rugi kalau ketinggalan, merasa mudah dan cepat memahaminya serta hari-harinya pun tidak terlepas dari pembicaraan isi mata kuliah tersebut.
Lebih-lebih kita sebagai seorang muslim, seharusnya kita harus lebih mencintai dan bangga dengan bahasa Arab dibanding bahasa asing lainnya, sebab bahasa Arab adalah bahasanya umat Islam, bahasa al-Qur`an, bahasa wahyu Allah, bahasa para penduduk surga. Lalu apakah layak kita lebih mencintai bahasa asing selain bahasa Arab?
Coba kita melihat sejenak bagaimana para ulama Islam terdahulu, yang mungkin nama-nama mereka sering kita dengar seperti Sibawaih, al-Zamakhsyari, al-khowarizmi, apakah mereka orang-orang Arab yang tadinya mahir berbahasa Arab? Jawabannya ternyata mereka bukan orang Arab dan awalnya tidak bisa berbahasa Arab. Namun mereka terus belajar karena mereka seorang muslim dan mereka mencintai bahasa Arab.
Al-Khowarizmi pernah mengatakan: “Demi Allah, kefasihanku terhadap bahasa Arab lebih aku cintai dari pada kebanggaanku terhadap bahasa Persia”5.
4. Sabar
فَصَبْرٌ جَمِيلٌ “Sabar itu Indah” begitulah Allah ta`ala menyebutnya dalam surat Yusuf ayat 18. Yang mengenarai begitu pentingnya kedudukan sabar dalam kehidupan kita.
Ketika belajar bahasa Arab, kita perlu mempertebal kesabaran, jangan mudah jenuh, bosan dan menjauhkan rasa malas dari diri kita. Tidak mungkin orang akan membangun rumah langsung dari atapnya, pasti dia akan memulai membangun dari pondasi yang kuat dan kokoh. Dipermulaan belajar bahasa Arab kita akan belajar dari materi-materi dasar terlebih dahulu, kemudian baru masuk ke materi yang lebih tinggi dan begitu seterusnya, kita akan memulainya dari jilid satu, dua dan seterusnya. Dan tidak akan pernah loncat dari satu jilid ke jilid yang lain kecuali dengan berurutan. Dalam kaidah bahasa Arab disebutkan:
من لم يتقن الأصول؛ حرم الوصول
“Barang siapa yang tidak kuat dasar ilmunya, maka dia akan terhalang untuk sampai kepada ilmu yang ia pelajari”6.
____________________________________________________
*Alumni Pendidikan Bahasa Arab UIN Sunan Kali Jaga Yogjakarta dan Institut Arabic Language King Saud University Riyadh Saudi Arabia.
Catatan kaki:
1 Bakr Abdullah Abu Zaid, Hilyatu Thalib al-Ilm, Dar al-`Ashimah, 1415, hal. 11
2 HR. Ahmad 2/338, al-Hakim mengatakan: hadits shahih dengan sanad yang tsiqah.
3 Abdurrahman bin Ibrahim Al-Fauzan, Muqoddimah Al-`Arabiyah Baina Yadaik, Al-`Arabiyah Li Al-Jami`, 1428.
4 Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, Kitab al-Ilm, hal. 69.
5 Syabib Muhammad al-Haqbani, ahammiyyah al-Lughah al-Arabiyah qadiman wa haditsan, al-Arabiyah majallah ta`lim al-lughah al-Arabiyah, volume 2, no. 2, Januari 2006, hal. 101.
6 Op.cit Bakr Abdullah Abu Zaid, hal. 25

Senin, 24 Oktober 2011

Hayya Nadrus Al-Lughah Al-Arabiyyah

حَيَّ نَدْرُسُ اللُّغَةَ العَرَبيَّةَ

نَحْنُ نَدْرُسُ اللُّغَةَ العَرَبيَّةَ
نَحْنُ نَفْهَمُ اللُّغَةَ العَرَبيَّةَ
لُغَةُ القُرْآنِ وَلُغَةُ السُّنَّةِ وَالكُتُبِ الإِسْلاَمِيَّةِ
نَحْنُ نُحِبُّ اللُّغَةَ العَرَبيَّةَ
نَحْنُ نَنْشُرُ اللُّغَةَ العَرَبيَّةَ
لُغَةُ الجَنَّةِ وَلُغَةُ المُسْلِمِيْنَ فِى أَنْحَاءِ العَالَمِ

<فَيَا أَيــُّهَا الإِخْوَانُ
حَيَّ عَلَى دَرْسِهَا
حَيَّ عَلَى نَشْرِهَا لإِعْلاَءِ كَلِمَاتِ اللهِ
أَيــَّتُهَا الأَخَوَاتُ
حَيَّ عَلَى دَرْسِهَا
حَيَّ عَلَى نَشْرِهَا فِى أَنْحَاءِ العَالَمِ

Mahfudhat

Mahfudhat
Abdul Al-Aziz

1. Barangsiapa bersungguh-sungguh, dapatlah ia
من جدّ وجد
2. Tuntutlah ilmu sejak dari buaian hingga ke liang kubur
أطلب العلم من المهد الى اللحد
3. Barangsiapa menanam pasti akan memetik (mengetam)
من يزرع يحسد
4. Tidak ada kenikmatan kecuali setelah kepayahan
وما اللذّة الى بعد التعب
5. Seandainya tiada berilmu niscaya manusia itu seperti binatang
لولا العلم لكان الناس كالبهائم
6. Sebaik-baik teman duduk pada setiap waktu adalah buku
خير جليس فى الزمان كتاب
7. Barangsiapa tahu jauhnya perjalanan, bersiap-siaplah ia
من عرف بعد السّفر استعدّ
8. Tergelincirnya kaki itu lebih selamat daripada tergelincirnya lidah
عثرة القدم أسلم من عشرة اللسان
9. Hamba sahaya itu harus dipukul dengan tongkat, dan orang yang merdeka (bukan budak) cukuplah dengan isyarat.
العبد يضرب بالعصا والحرّ تكفيه الاشارة
10. Awal kemarahan itu adalah ketidakwarasan dan akhirnya adalah penyesalan
أوّل الغضب جنون وآخره ندم
11. Segala sesuatu apabila banyak menjadi murah, kecuali budi pekerti
كلّ شيئ إذا كثر رخص إلاّ الأدب
12. Barangsiapa berjalan pada jalannya, sampailah ia.
من سار على الدرب وصل
13. Pokok segala dosa itu adalah kebohongan.
رأس الذنوب الكذب
14. Bekerja itu membuat yang sukar menjadi mudah.
العمل يجعل الصعب سهلا
15. Tuntutlah ilmu walaupun di negeri Cina
أطلب العلم ولو بالصين
16. Temanmu adalah yang menangisimu (membuatmu menangis), bukan orang yang menertawakanmu (membuatmu tertawa).
صديقك من أبكاك لا من أضحكك
17. Cobalah dan perhatikanlah, niscaya kau menjadi orang yang tahu.
جرّب ولاحظ تكن عارفا
18. Tidak akan kembali hari-hari yang telah berlalu.
لن ترجع الأيّام التى مضت
19. Barangsiapa sedikit benarnya/kejujurannya, sedikit pulalah temannya.
من قلّ صدقه قلّ صديقه
20. Pergaulilah orang yang jujur dan menepati janji.
جالس أهل الصّدق والوفاء
21. Ilmu tiada amalan bagaikan pohon tidak berbua
العلم بلا عمل كالشجر بلا ثمر
22. Balasan suatu kejahatan itu adalah kejahatan yang sama dengannya
فجزاء سيّئة سيّئة مثلها
23. Barangsiapa yang menggali lubang akan terperosoklah ia di dalamnya
من حفر حفرة وقع فيها
24. Bukanlah cela itu bagi orang yang miskin, tapi cela itu terletak pada orang yang kikir
ليس العيب لمن كان فقيرا بل العيب لمن كان بخيلا
25. Sebaik-baiknya teman itu adalah yang menunjukkanmu kepada kebaikan.
خير الأصحاب من يدلّك على الخير

TIPS MEMPELAJARI BAHASA ARAB

Tips Mempelajari Bahasa Arab
Rian Permana

Kebanyakan orang merasa bahwa mempelajari bahasa arab itu sangat sulit, mereka sudah mengikuti kursus bahasa arab berkali-kali, akan tetapi mereka masih saja tidak bisa menguasai bahasa arab, yang akhirnya mereka beranggapan “belajar bahasa arab sangatlah sulit”. Sebenarnya apa yang membuat orang merasa sulit untuk mempelajari bahasa arab, bukankah Allah telah mengatakan bahwa agama ini sangat mudah untuk dipelajari?? Lantas kenapa mereka tetap saja tidak bisa menguasai bahasa arab?? jawabannya, karena mereka tidak mengetahui caranya…

Berikut ini adalah tips-tips bagi yang ingin mempelajari bahasa arab dengan mudah dan cepat..: )

1. Ikhlaskan niat hanya untuk Allah

Banyak orang ingin mempelajari bahasa arab hanya karena ia ingin bekerja atau sekolah di negri arab dan yang parahnya ada orang yang ingin mempelajari bahasa arab hanya karena gengsi akibat teman-temannya bisa bahasa arab. Niat yang demikian inilah salah satu penyebab kita menjadi sulit untuk mempelajari bahasa arab, karena ketika kita meniatkan mempelajari bahasa arab karena Allah, maka niscaya Allah akan membantu kita untuk memudahkan di dalam mempelajari dan mengamalkannya, dimana Allah telah berfirman :

إِن تَنصُرُوا اللهَ يَنصُرْكُمْ
“jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Allah akan menolongmu” (muhammad : 7)

Salah satu bentuk menolong agama Allah, adalah dengan mengagungkan syiarnya, dan bahasa arab merupakan syiar dari agama islam.

Dari hal ini, marilah kita luruskan niat kita, ikhlaskan niat kita terlebih dahulu untuk mempelajari bahasa arab karena Allah, agar Allah memudahkan kita di dalam memahami dan mengamalkan bahasa arab, disamping menjadi amal kita dalam upaya beribadah kepada Allah ta’ala.

2. Belajar bahasa arab dari dasar dan tidak terburu-buru.

Salah satu hal yang menyebabkan kita sulit mempelajari bahasa arab adalah karena kita tidak sabar di dalam mempelajarinya. Banyak di antara saudara kita yang mengikuti kursus bahasa arab lebih dari satu tempat, bahkan ada yang mengikuti 2 tempat kursus dalam seminggu dengan pembahasan yang berbeda-beda. Hal ini merupakan suatu kesalahan, di dalam belajar bahasa arab kita dituntut untuk belajar tahap demi tahap, yang mana kita tidak akan bisa menguasai pelajaran bahasa arab selanjutnya sebelum memepelajari dan memahami pelajaran dasar-dasarnya. Hal ini telah dijelaskan dan dibuat kaidah oleh para ulama.

منِ اسْتعجلَ شيئاً قبلَ أَوانِهِ عُوقِبَ بحرمانِهِ

“barangsiapa yang terburu-buru dalam mendapatkan sesuatu, maka ia dihukum untuk tidak mendapatkannya”

Oleh karenanya, hendaknya kita mempelajari bahasa arab secara bertahap dan tidak terburu-buru. Sabar adalah kunci keberhasilan.. : )

3. Pada awal belajar, hendaknya belajar hanya pada satu guru.

Merupakan suatu kesalahan ketika kita menjadikan banyak orang menjadi guru kita dalam mempelajari bahasa arab dasar. Hal ini karena, setiap orang pastinya mempunyai metode pembelajaran yang berbeda-beda, sehingga ketika kita tidak terbiasa dengan perubahan metode cara ngajar, menyebabkan kita menjadi sulit untuk memahami dan akhirnya menjadi bingung dan pusing.

Pada awal mula kita mempelajari bahasa arab, cukuplah satu orang yang menjadi guru kita, adapun jika kita sudah cukup mahir dalam bahasa arab, atau sudah paham mengenai dasar-dasar bahasa arab, maka hal ini tidak mengapa jika kita berguru dengan banyak orang.

Praktek dalam hal ini sudah diterapkan oleh para ulama-ulama kita, pada awal mereka belajar agama, mereka hanya mengambil ilmu pada satu orang guru saja, kemudian setelah mengetahui dasar-dasar agama, barulah mereka mencari guru-guru yang lain. Sehingga wajar jika kita melihat ada ulama yang mazhabnya mencolok ke imam syafi’I saja atau imam ahmad saja.

Perlu diketahui, belajar hanya semata-mata dari buku, tidak menjamin kita menjadi orang yang ahli bahasa arab jika masih dalam taraf awal, lain cerita jika sudah memahami dasar-dasarnya. Karena sebagaimana sudah dijelaskan, metode pembelajaran setiap orang dan buku berbeda-beda, jika kita tidak ada pemahaman dasarnya, maka bingung dan pusing adalah akibatnya…: )

4. Mempraktekkan ilmu yang telah dipelajari.

Jika kita tidak mempunyai teman untuk mempraktekkan ilmu yang sudah dipelajari, Al-qur’an adalah solusi tepat dan merupakan teman setia yang akan membimbing kita di dalam memahami bahasa arab, terutama dalam masalah ilmu nahwu.

Dari pelajaran yang telah diberikan, coba diterapkan dengan dibantu Al-qur’an, cari mana saja isim, fi’il dan huruf atau isim dhomir, isim maqsur dan lain-lainnya. Begitu juga dengan keadaan katanya, apakah marfu, mansub atau majrur. Dengan hal ini, kita akan terbiasa dengan kata-kata tersebut, ketika kita menemukan kata asing, kita melihat kembali pelajaran atau buku bahasa arabnya, sehingga kita menjadi lancar di dalam membedakan tiap-tiap katanya. Selain itu, dengan dibantu Al-qur’an, mufrodat atau kosakata kita akan menjadi semakin bertambah… : )

5. Mengamalkan dengan cara mengajarkan kepada orang lain.

Cara paling efektif untuk memperlancar bahasa arab adalah dengan cara mengajarkannya kepada orang lain, dengan hal ini, ilmu kita semakin bertambah, dan daya ingat kita terhadap pelajaran menjadi semakin kuat.
Cara lain, jika kita tidak bisa menemukan orang yang mau kita ajari, kita bisa membuat tulisan seperti yang saya lakukan, dan ini terbukti semakin menambah ilmu dan daya ingat saya akan bahasa arab… : )

6. Kontinyu dan senantiasa melaksanakan kelima hal di atas.
Dengan melaksanakan kelima hal di atas secara terus menerus, insyaAllah mempelajari bahasa arab menjadi suatu hal yang mudah dan menyenangkan… : )

Selamat mencoba…
Sumber: http://www.facebook.com

Minggu, 23 Oktober 2011

MAKNA DI BALIK IBADAH KURBAN

Khutbah Idul Adha 1431 H.
Makna di Balik Ibadah Kurban
H. Ilyas Rifai, MA.

Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Maasyiral Muslimin rahimakumullah
Marilah kita panjatkan puji syukur ke hadirat Allah Swt. atas segala nikmat dan karunia-Nya. Di pagi nan indah ini kita masih diberi umur panjang dan kesehatan, sehingga untuk kesekian kalinya kita berkesempatan menikmati keagungan Idul Adha sebagai hari besar Islam untuk mengagingkan Allah, memiji-Nya dan bersyukur kepada-Nya.
Allahu Akbar Allahu Akbar Allahu Akbar Walillahi Hamd
Ada dua peristiwa sakral dan agung pada hari raya idul adha, yaitu disyariatkannya ibadah kurban dan kewajiban ibadah haji, yang kedua-duanya merupakan syariat yang berasal dari sejarah kehidupan Nabiyullah Ibrahim as.
Berkurban (Qurban) secara harfiah, bermakna “dekat”. Berasal dari bahasa Arab qaruba-yaqrubu-qurban-waqurbanan. Yakni sebuah usaha untuk menyingkirkan hal-hal yang dapat menghalangi upaya mendekatkan kita kepada Allah.
Upacara kurban pertamakali dalam sejarah kemanusiaan dimulai oleh kisah Qabil dan Habil, putra Nabi Adam as. Keduanya disuruh berkurban oleh ayah mereka. Habil mempersembahkan hewan yang paling baik dengan hati yang ikhlas. Sementara Qabil berkurban hanya untuk mengalahkan saudaranya. Kisah ini kemudian dicatat dalam QS. Al-Maidah: 27-30. Dan peristiwa ini menjadi tonggak awal sejarah kurban dalam agama Islam.

Ceritakanlah kepada mereka kisah kedua putera Adam (Habil dan Qabil) menurut yang Sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan korban, Maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). ia Berkata (Qabil): "Aku pasti membunuhmu!". Berkata Habil: "Sesungguhnya Allah Hanya menerima (korban) dari orang-orang yang bertakwa".
"Sungguh kalau kamu menggerakkan tanganmu kepadaku untuk membunuhku, Aku sekali-kali tidak akan menggerakkan tanganku kepadamu untuk membunuhmu. Sesungguhnya Aku takut kepada Allah, Tuhan seru sekalian alam."
"Sesungguhnya Aku ingin agar kamu kembali dengan (membawa) dosa (membunuh)ku dan dosamu sendiri, Maka kamu akan menjadi penghuni neraka, dan yang demikian Itulah pembalasan bagi orang-orang yang zalim."
Maka hawa nafsu Qabil menjadikannya menganggap mudah membunuh saudaranya, sebab itu dibunuhnyalah, Maka jadilah ia seorang diantara orang-orang yang merugi. (QS. Al-Maidah: 27-30).

Allahu Akbar Allahu Akbar Allahu Akbar Walillahi Hamd
Dalam konteks Idul Adha, berkurban memiliki nilai historis dan pesan makna yang lebih luas. Pertama, hari raya kurban mempunyai kaitan dengan peristiwa Nabi Ibrahim as, yakni, ketika Allah memerintahkan untuk menyembelih putranya Ismail as. Padahal telah sekian lama ia mendambakan kehadiran anak itu dengan berdoa siang dan malam: Rabbi habli minasshalihin (Tuhan, karuniai aku anak yang saleh). Doa itu terkabul, lahirlah seorang anak yang dalam bahasa Al-Quran disebut ghulaman halima (bocah yang lembut).
Ironisnya, ketika anaknya berangkat dewasa, Allah memerintahkan pengorbanan yang paling sulit dilihat dari kepentingan dirinya sebagai seorang ayah dan hamba yang telah lama mendambakan keturunan. Kita bisa membayangkan bagaimana perasaan Nabi Ibrahim as. kala itu. Anak yang didambakan dan menjadi tumpahan rasa kasih sayangnya itu harus rela dikorbankan demi memenuhi perintah Allah. Sungguh! Itu adalah sebuah perjuangan yang sangat berat!

“Tatkala anak itu sampai (pada usia sanggup) berusaha, Ibrahim berkata, ’Hai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi menyembelihmu. Maka bagaimana pendapatmu?’ Ia menjawab, ‘Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu. Insya Alloh kamu akan mendapatiku termasuk orang yang sabar’” (QS. Ash-Shaffat: 102)

Meskipun perintah tersebut sebenarnya hanya ingin menguji keimanan Ibrahim, pasalnya, ketika dikaruniai anak, cinta Ibrahim mulai terbagi. Kalau dulu (sebelum berketurunan) dia sangat konsentrasi pada Allah, setelah kehadiran Ismail, konsentrasinya mulai terbelah: pada Allah dan pada anaknya. Karena saking cintanya, Allah pun mengujinya dengan scenario yang tak kalah ektrem, memerintah agar segera menyembelih Ismail as. ternyata Nabi Ibrahim berhasil lulus membunuh “berhala” dalam hatinya. Meski, saat akan dilakukan penyembelihan itu, kemudian Allah menggantinya dengan seekor kambing.

‘Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipisnya, (sehingga terbuktilah kesabaran keduanya), maka Kami panggil dia: ‘Hai Ibrahim, sungguh kamu telah membenarkan mimpi itu. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata’.” (QS. Ash-Shaffat: 103-106)

“Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. Kami abadikan untuk Ibrahim (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang datang kemudian. Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim.” (QS. Ash-Shaffat: 107-109)

Perintah sembelihlah anakmu, sebenarnya adalah perintah menyembelih segala ego, kerakusan, dan nafsu yang ada di dalam hati, yang itu semua dapat menjadi tabir kedekatan dan hubungan kita terhadap Allah dan sesama manusia. Peristiwa yang memiliki makna yang luar biasa ini sampai kini masih ditradisikan oleh Islam.
Kedua, digantinya Ismail dengan hewan kurban itu juga memiliki latar sejarah. Nabi Ibrahim dilahirkan di sebuah kabilah yang bernama Jurhum. Di kabilah itu, animisme menjadi sebuah kepercayaan, yang kerap melakukan pengorbanan manusia; entah itu anaknya, istrinya, dengan mengatasnamakan Tuhan. Jadi, tradisi kurban itu sudah ada dan sudah terbiasa sekali. Disembelihnya Ismail yang kemudian diganti dengan hewan ternak itu, sebenarnya merupakan simbolisasi diangkatnya esensi harkat dan martabat manusia ke dalam citra kemanusiaannya yang paling mulia. Ia mencontohkan kepada umatnya agar mengubah sebuah tradisi yang tidak memanusiakan manusia tersebut. Karena, pada hakikatnya sesama manusia itu tidak boleh saling membunuh. Allah tidak butuh sesaji atau darah apa pun. Dalam Islam, berkurban hendaknya dimaknai sebagai proses penyucian diri (tazkiatu nafs) atas segala noda dan dosa di dalam ranah diri serta bisa dirasakan oleh orang lain dalam ranah masyarakat.
Allahu Akbar Allahu Akbar Allahu Akbar Walillahi Hamd
Hari ini, begitu usai melaksanakan shalat Id hingga hari-hari tasyrik, tanggal 11, 12, 13 Dzulhijjah, umat Islam yang mampu diperintahkan untuk memotong hewan kurban. Rasulullah mengancam terhadap orang yang mampu tetapi enggan untuk beribadah kurban.

Barangsiapa yang mempunyai kelapangan rezeki tetapi tidak berkurban, makatak patut ia mendekati tempat shalat kami (HR. Ahmad)

Allahu Akbar Allahu Akbar Allahu Akbar Walillahi Hamd

Daging kurban itu untuk siapa?
Diriwayatkan, bahwa setiap hari raya Idul Adha tiba, Rasulullah menyembelih dua ekor domba yang gemuk, bertanduk, dan berbulu putih bersih. Sebagian dari dagingnya dimakan oleh Rasulullah dan keluarganya. Sebagiannya lagi ditebarkan kepada fakir miskin.
Dari riwayat tersebut jelaslah, bahwa daging kurban itu diperuntukkan oleh sebagian pelaku kurban dan senagian lainnya untuk fakir miskin. Bukan untuk Allah karena Allah tidak memakan dagingnya. Oleh karena itu, penyembelihan hewan kurban hendaknya diartikan sebagai proses diri menuju ketakwaan. Allah berfirman:

“Tidak sampai kepada Allah daging dan darahnya. Tetapi yang sampai kepada-Nya hanyalah ketakwaanmu” (QS. Al-Hajj: 37).

Jadi, berkurban tidak sekedar ritual persembahan untuk meningkatkan spiritual kita, tetapi juga untuk memperkuat kepekaan dan kepedulian sosial kita. Idul Adha adalah sebuah ibadah untuk mendekatkan diri kita kepada Allah, dengan cara mendekatkan diri kita kepada sesama manusia. Bila ibadah puasa mengajak kita merasakan lapar seperti orang-orang miskin, maka ibadah kurban mengajak mereka untuk merasakan kenyang seperti kita.
Berkurban perlu dimaknai secara lebih luas. Berkurban tidak hanya berhenti dengan penyembelihan seekor kambing atau sapi saja, tetapi segala hal yang kita miliki. Mulai dari perhatian, cinta kasih, kesabaran, tenaga, pikiran, dan lain sebagainya. Maka, bagi orang-orang kaya, arti berkurban bisa berarti berbagi harta, bagi kaum cendikia berkurban berarti membagi sumbang saran dan pikiran, bagi pemilik kekuasaan, berburban berarti memperbaiki kebijakan untuk kemaslahatan umat, sedangkan bagi yang emosional berkurban berarti kesabaran.
Makna ibadah kurban sejatinya adalah menyembelih segala kendala yang menghalangi “perjalanan” kita menuju Allah, yang membuat hati tuli terhadap nilai-nilai etika dan agama. Pendeknya, pada saat kita menyembelih binatang kurban di hari raya ini, hendaknya kita juga “menyembelih” sifat kebinatangan dalam diri kita sendiri; rasa egois, sifat tamak, rakus, juga cinta berlebih terhadap harta dan kekuasaan kita. Kita tidak bisa langsung mendekatkan diri kepada Allah, kecuali setelah memenggal sesuatu; harus ada yang diputus, yaitu elemen-elemen yang menghambat diri untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt.

Allahu Akbar Allahu Akbar Allahu Akbar Walillahi Hamd
Peristiwa yang dialami oleh Nabi Ibrahim as. dan putranya, Ismail as. serta ketabahan istrinya, Hajar, memberikan contoh dan suri tauladan kepada kita betapa pentingnya fungsi iman bagi kehidupan keluarga agar kita menempatkan kewajiban taat kepada Allah di atas segala-galanya. Artinya, ketaatan kepada Allah harus diletakkan di atas kecintaan seorang ayah terhadap anak, istri, dan kecintaan terhadap harta, jabatan, kesenangan dan kebanggaan lainnya.
Pekik dan gema takbir (Allah Yang Maha Besar) mesti dipahami, sekali kita berketetapan bahwa hanya Allah yang maha besar, dan yang lainnya menjadi kecil. Maka di hari raya ini, marilah kita perbanyak bertakbirlah, bertahlil, dan bertahmid! Mari kita gunakan sebagian harta yang kita miliki untuk berkurba. Rizki yang kita makan akan menjadi kotoran. Rizki yang kita pakai akan menjadi benda usang, dan rizki yang didermakan, itulah yang akan abadi dan bernilai di hadapan Allah Swt. Selamat berkurban, semoga kurban kita merupakan cerminan dari cinta kita kepada Allah, sehingga Allah akan membalas cinta-Nya dengan pahala dan keridlaan-Nya. Amin Ya Rabbal Alamin

MENGENAL KAMUS ARAB-INDONESIA MAHMUD YUNUS

Kamus Arab-Indonesia Mahmud Yunus
H. Ilyas Rifai, MA.

Pendahuluan
Agama Islam adalah agama yang sangat kental dengan pemakaian bahasa Arab. Hal ini kita pahami, dimana bahasa Arab dipakai dalam banyak aktifitas kaum Muslimin, dalam ibadah khususnya dan dalam mempelajari dan mendalami ajaran-ajaran Islam pada umumnya. Seperti ketika kita shalat, berpuasa, berhaji, berwudlu, dan ibadah-ibadah lainnya. Oleh karena itu, bahasa Arab sangatlah penting untuk kita pelajari, kita pahami dan kita ajarkan, karena mempelajari kaidah bahasa Arab merupakan sarana untuk dapat memahami ajaran-ajaran Islam.
Belajar bahasa asing termasuk bahasa Arab memerlukan alat penunjang yang antara lain adalah kamus. Barangkali kesulitan-kesulitan yang terjadi dalam pembelajaran bahasa Arab dalam masalah kebahasaan dapat diatasi dengan bantuan kamus.
Sejarah perkamusan di Indonesia terus berkembang dari masa ke masa. Saat ini terdapat banyak ragam karya leksikografi yang berkembang, baik itu termasuk kamus eka bahasa, dwibahasa, bahkan multi bahasa. Salah satu kamus yang banyak digunakan oleh para pelajar bahasa Arab di Indonesia adalah Kamus Arab-Indonesia karangan Mahmud Yunus yang lebih dikenal dengan sebutan Kamus Mahmud Yunus. Pada makalah ini penulis mencoba untuk mengungkap lebih jauh tentang sejarah kamus Arab-Indonesia tersebut, biografi Mahmud Yunus, serta karakteristik kamusnya, dengan harapan mudah-mudahan pembahasan ini akan menambah wawasan kita khususnya tentang kamus Arab-Indonesia. Namun sebelum itu, untuk lebih memantapkan pembahasan ini, perlu kiranya penulis paparkan sekilas tentang hakikat kamus.

Sekilas tentang Hakikat Kamus
Arti Kamus. Kata ”kamus” bukanlah bahasa Indonesia asli, melainkan diserap dari bahasa Arab ”qamus” dengan bentuk jamaknya ”qawamis”. Kata ini pun pada dasarnya berasal dalam bahasa Yunani ”okeanus” yang berarti ”lautan”. Kamus merupakan buku acuan yang memuat kata dan ungkapan, biasanya disusun menurut abjad berikut keterangan tentang makna, pemakaian dan terjemahannya.
Kamus berguna membantu para pemakai untuk mengenal kata-kata baru berikut maknanya. Selain menerangkan makna kata, kamus juga memuat cara-cara mengungkapkan kata tersebut, menerangkan asal kata serta memberikan contoh-contoh penggunaannya dalam masyarakat. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Samuel Johnson, penyusun Dictionary of the English Language, bahwa fungsi kamus adalah untuk memelihara kemurnian bahasa. Sedangkan Dr. Hamid Shadik Qatibi memandang kata kamus merupakan sinonim dari kata mu’jam dan memiliki fungsi-fungsi sebagai berikut: 1) menemukan makna sebuah kata, 2) menetapkan pelafalan dan cara pengucapan, 3) menetapkan ejaan, 4) menelusuri asal usul sebuah kata, 5) membedakan antara kata yang tak lazim dan tak terpakai serta menjelaskan kata-kata yang murni dan serapan, 6) mengetahui sinonim dan antonim, 7) penggunaan kata-kata sastra dan peribahasa, 8) pengetahuan yang bersifat ensiklopedis.
Macam-macam Kamus. Secara umum, macam-macam kamus dapat dilihat dari beberapa segi antara lain: ruang lingkup isinya, penggunaan bahasanya, sifatnya, ukurannya dan ciri khususnya. Berdasarkan ruang lingkup isinya, kamus terbagi menjadi kamus umum dan kamus khusus. Kamus umum adalah kamus yang memuat segala macam topik yang ada dalam sebuah bahasa, sedangkan kamus khusus hanya memuat kata-kata dari suatu bidang tertentu. Kamus khusus ini memiliki beberapa jenis antara lain: 1) kamus istilah, yakni kamus yang menjelaskan istilah-istilah khusus dalam bidang tertentu, 2) kamus etimologi, yaitu kamus yang menerangkan asal usul suatu kata, 3) kamus peribahasa, yaitu kamus yang menerangkan maksud suatu peribahasa, 4) kamus kata nama khas, yaitu kamus yang hanya menyimpan kata-kata khas (nama tempat, nama tokoh, nama institusi, dll.).
Berdasarkan sifatnya, kamus terbagi kepada kamus standar dan kamus non-standar. Kamus standar adalah kamus yang diakui dan memuat kata-kata yang standar dalam suatu bahasa, sedangkan kamus non-standar yaitu kamus yang memuat kata-kata yang bukan standar.
Berdasarkan penggunaan bahasanya, kamus terbagi tiga macam, yaitu kamus ekabahasa, kamus dwibahasa, dan kamus multibahasa. Kamus ekabahasa adalah kamus yang hanya menggunakan satu bahasa saja. Kata-kata (entry) yang dijelaskan dan penjelasannya terdiri dari bahasa yang sama. Kamus dwibahasa adalah kamus yang menggunakan dua bahasa, yakni kata masukan yang ada dalam kamus diberi padanan atau maknanya dalam bahasa lain. Sedangkan kamus multibahasa adalah kamus yang sekurang-kurangnya menggunakan tiga bahasa atau lebih.
Sedangkan berdasarkan sifatnya, kamus terbagi ke dalam kamus mini, kamus kecil, dan kamus besar. Kamus mini sering disebut dengan kamus saku, karena bentuknya yang kecil dan bisa diisimpan di dalam saku, biasanya tebalnya kurang dari 2 cm. Kamus kecil memiliki ukuran yang tidak terlalu besar, tetapi lebih besar daripada kamus saku. Kamus ini memiliki sifat bisa dibawa ke mana-mana. Sementara kamus besar biasanya dapat memuat segala leksikal yang terdapat dalam suatu bahasa. Setiap kata yang dijelaskan maksudnya secara lengkap dan biasanya ukurannya besar dan sulit untuk dibawa ke mana-mana.

Biografi Mahmud Yunus
Mahmud Yunus dilahirkan di desa Sungayang, Batusangkar, Sumatra Barat, tepatnya pada hari Sabtu 10 Pebruari 1899 (30 Ramadlan 1361). Beliau merupakan salah seorang pembaharu pengajaran bahasa Arab di Indonesia. Ia lahir dari keluarga tokoh agama yang cukup terkemuka. Ayahnya bernama Yunus bin Incek, sedangkan ibunya bernama Hafsah binti Imam Samiun yang merupakan anak Engku Gadang M. Tahir bin Ali, seorang ulama besar di Sungkayang Batusangkar.
Sejak kecil, Mahmus Yunus dididik dalam lingkungan agama. Dia tidak pernah masuk di sekolah umum. Ketika menginjak usia tujuh tahun (1906), ia mulai belajar al-Quran serta ibadah lainnya. Gurunya adalah kakeknya sendiri, yaitu M. Thahir. Ia sempat menimba ilmu selama tiga tahun di sekolah desa, tahun 1908. Namun saat duduk di kelas IV, dia merasa tidak betah lantaran seringnya pelajaran kelas sebelumnya diulangi. Dia pun memutuskan untuk pindah ke madrasah yang berada di Surau Tanjung Pauh yang bernama Madras School, asuhan Syeikh HM. Thalib Umar, seorang tokoh pembaharu Islam di Minangkabau. Berkat ketekunan dalam waktu empat tahun saja, Mahmud Yunus telah sanggup mengajarkan beberapa kitab, antara lain Mahalli, al-Fiyah, dan Jam’ul Jawami’. Dan melalui karya-karya gurunya itu, Mahmud dapat menyerap semangat pembaharuan yang dibawa.
Saat Mahmud belajar di Madras School antara tahun 1917-1923, di Minangkabau tengah tumbuh gerakan pembaharuan Islam yang dibawa oleh para alumni Timur Tengah. Umumnya pembaharuan Islam terwujud dalam dua bentuk; pirifikasi dan modernisasi. Adapun gerakan yang dilakukan oleh para alumni adalah gerakan purifikasi, yakni gerakan untuk mengembalikan Islam ke zaman awal Islam dan menyingkirkan segala tambahan yang datang dari zaman setelahnya.
Mahmud Yunus mulai terlibat dalam gerakan pembaharuan saat berlangsungnya Rapat Besar Ulama Minangkabau tahun 1919 di Padang panjang. Dia diminta untuk mewakili gurunya. Pertemuan itu secara langsungmaupun tidak langsung memperngaruhi pola pemikiran pembaharuan Mahmud Yunus, terutama berkat pandangan-pandangan yang dikemukakan sejumlah tokoh pembaharu seperti Abdullah Ahmad serta Abdul Kamir Amrullah (Hamka). Bersama staf pengajar lainnya yang aktif di gerakan pembaharuan, tahun 1920 Mahmud membentuk Perkumpulan Pelajar Islam di Sungayang yang bernama Sumatra Thawalib. Salah satu kegiatan kelompok ini adalah menerbitkan Majalah Al-Basyir dengan Mahmud Yunus sebagai pemimpin redaksinya. Interaksi yang kian intens dengan gerakan pembaharu, mendorongnya untuk menimba ilmu lebih jauh di Mesir.
Berkat kegigihannya, Mahmud Yunus akhirnya dapat menimba ilmu ke Al-Azhar, Kairo, Mesir tahun 1924. Di sana ia mempelajari ilmu ushul fiqih, ilmu tafsir, fiqih Hanafi, dan sebagainya. Mahmud Yunus adalah seorang mahasiswa yang cerdas. Hanya dalam tempo satu tahun, ia berhasil mendapatkan Syahadah Alimiyah (Akta Mengajar) dari Al-Azhar dan menjadi orang Indonesia kedua yang memperoleh predikat itu. Sekalipun sudah mendapatkan ijazah, namun beliau merasa belum cukup dengan apa yang telah diperolehnya lantaran peningkatan pengetahuan umumnya belum terpenuhi. Dia pun berkeinginan untuk menajutkan studinya ke Madrasah Darul Ulum yang memang mengajarkan pengetahuan umum. Mahmud Yunus kemudian meneguhkan diri untuk mengikuti seluruh persyaratan yang diminta dan terbukti mampu memenuhinya. Dia dimasukkan sebagai mahasiswa di kelas bagian malam. Semua mahasiswanya berkebangsaan Mesir kecuali Mahmud Yunus. Dia tercatat sebagai orang Indonesia pertama yang masuk di Darul Ulum, Kairo.
Tahun 1929, dia mendapat Ijazah Diploma Guru dengan spesialisasi bidang Ilmu Pendidikan. Setelah itu, dia kembali ke kampung halamannya di Singayang, Batusangkar. Gerakan pembaharuan di Minagkabau saat itu semakin berkembang. Hal ini sangat menggembirakan Mahmud Yunus. Pada tahun 1931, ia pun mendirikan dua Lembaga Pendidikan Islam di Padang. Di dua lembaga inilah ia menertapkan pengetahuan dan pengalamannya yang didapai di Darul Ulum, Kairo. Dua penekanan dalam pembaharuan Mahmud Yunus di lembaga pendidikanya yakni pengenalan pengetahuan umum dan pembaharuan pengejaran bahasa Arab. Pengajaran pengetahuan umum di sekolahnya sebenarnya tidaklah baru, tahun 1909 Abdullah Muhammad sedah mengajarkan ilmu berhitung dan bahasa Eropa di Adabiyah School. Sementara Mahmud menambahkan beberapa pelajaran umum semisal ilmu alam, hitung dagang, dan tata buku.
Profesi sebagai guru semenjak masih menjadi pelajar di Surau Tanjung Pauh sudah ia geluti. Kemampuannya bahkan semakin menonjol terutama setelah ia kembali dari Mesir. Secara terus menerus Mahmud Yunus mengajar dan memimpin berbagai lembaga pendidikan, yakni pada al-Jami’ah al-Islamiyah Batusangkar (1931-1932), Kulliyah Mu’allimin Islamiyah Normal Islam Padang (1932-19460, Akademi Pamong Praja di Bukit Tinggi (1948-1949), Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA) Jakarta (1957-1980), menjadi Dekan dan Guru Besar pada Fakultas Tarbiyah IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta (1960-1963), Rektor IAIN Imam Bonjol Padang (1966-1071). Atas jasa-jasanya di bidang pendidikan ini, pada 15 Oktober 1977, Mahmud Yunus memperoleh gelar Doctor Honoris Causa di bidang Ilmu Tarbiyah dari IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Banyak tulisan yang yelah dihasilkan oleh Mahmud Yunus dalam berbagai bidang, seperti pendidikan, bahasa Arab, fiqih, ushul fiqih, tafsir, akhlak, sejarah, perbandingan agama, ilmu jiwa, dakwah, yang ia tulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Arab. Sejak awal tahun 1970, kesehatan Mahmud Yunus mulai menurun, dan sering bolak-balik masuk rumah sakit. Akhirnya, pada tanggal 18 Januari 1983, dalam usia 83, beliau berpulang ke Rahmatullah di kediamannya, kelurahan Kebon Kosong, Jakarta Pusat, dan dimakamkan di pemakaman IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Adapun karya-karya Mahmud Yunus antara lain:
1. Akhlak, untuk Aliyah
2. Alif Ba Ta wa Juz Amma
3. Allah dan Mahluk-Nya: Ilmu Tauhid menurut Al-Quran
4. Al-Mukhtarat li al-Muthala’ah wa al-Mahfudzat
5. At-Tarbiyah wa at-Ta’lim
6. Beberapa Kisah Pendek, untuk SD
7. Beriman dan Berbudi Pekerti, untuk SD
8. Dasar-dasar Negara Islam
9. Do’a-do’a Rasulullah, untuk Tsanawiyah
10. Haji ke Mekkah, untuk SD
11. Hukum Perkawinan dalam Islam, 4 Mazhab.
12. Hukum Warisan dalam Islam, untuk Aliyah
13. Ilmu Jiwa Kanak-kanak
14. Ilmu Mushthalahul Hadits, bersama H. Mahmud Aziz
15. Ilmu Perbandingan Agama
16. Juz Amma dan Terjemahnya
17. Kamus Arab-Indonesia
18. Kesimpulan Isi Al-Quran, untuk Muballigh/Umum
19. Kumpulan Do’a
20. Lagu-lagu Pendidikan Agama/Akhlak, bersma Kasim St. M. Syah
21. Mabadi al-Fiqhu al-Wadhih
22. Manasik Haji untuk Orang Dewasa
23. Marilah ke Al-Quran, untuk Tsanawiyah/PGA bersama H. Ilyas M. Ali
24. Metodik Khusus Bahasa Arab, Fak. Tarbiyah/PGAA
25. Metodik Khusus Pendidikan Agama, Fak. Tarbiyah/PGAA
26. Moral Pembangaunan dalam Islam, untuk Aliyah
27. Muhadatsah al-Arabiyyah
28. Muhadharat al-Israiliyyat fi at-Tafsir wa al-Hadits
29. Pedoman Dakwah Islamiyyah
30. Pelajaran Huruf Al-Quran
31. Pelajaran Sembahyang untuk Orang Dewasa
32. Pendidikan di Negara-negara Islam dan Intisari Pendidikan Barat
33. Pengetahuan Umum Ilmu Mendidik, bersama St. M. Said
34. Pokok-pokok Pendidikan dan Pengajaran, Fak. Tarbiyah/PGAA
35. Puasa dan Zakat, untuk SD
36. Riwayat Rasul Dua Puluh Lima, bersama Rasyidin/Zubir Usman
37. Sejarah Islam di Minagkabau
38. Sejarah Pendidikan Islam
39. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia
40. Soal Jawab Hukum Islam
41. Surat Yasin dan Terjemahannya (Arab Melayu)
42. Tafsir Al-Fatihah
43. Tafsir al-Quran (30 juz)
44. Tafsir Ayat Akhlak
45. Terjemah Tafsir al-Quran
46. Tarikh al-Fiqhu al-Islami
47. Tarikh al-Islam
48. Al-Adyan
49. Mudzakarat Ushul al-Fiqh
50. Durus at-Tauhid
51. Ilmu an-Nafs
52. Beberapa Kisah Nabi dan Khalifahnya
53. Asy-Syuhuru al-Arabiyyah fi Biladi al-Islamiyyah
54. Khulashah Tarikh al-Ustaz Mahmud Yunus
55. Durus al-Lughah al-Arabiyyah ’ala Thariqati al-Haditsah Jilid 1-2
56. Kamus al-Quran Jilid 1-2
57. Al-Fiqhu al-Wadhih Jilid 1-3
58. Durus al-Lughah al-Arabiyyah Jilid 1-3
59. Pemimpin Pelajaran Agama Jilid 1-3, untuk SMP
60. Keimanan dan Akhlak Jilid 1-4, untuk SD
61. Marilah Sembahyang Jilid 1-4, untuk SD
62. Pelajaran Bahasa Arab Jilid 1-4.

Kamus Mahmud Yunus
Sebelum menyusun Kamus Arab-Indonesia, pada tahun 1930 saat Mahmud Yunus menuntut ilmu di Al-Azhar Kairo, beliau sempat menyusun kamus yang dinamai Kamus al-Zahabi. Kamus ini adalah kamus Arab-Melayu dan bisa dikatakan bahwa kamus Mahmud Yunus merupakan kamus pertama yang dihasilkan oleh putra Indonesia. Sementera kamus Arab-Indonesia Mahmud Yunus baru beliau susun pada tahun 1972. Kamus ini disusun saat Mahmud Yunus telah kembadi dari Mesir.
Penyusunan kamus ini dilatarbelakangi oleh tuntutan dari masyarakat, guru-guru dan para pelajar agar mencentek ulang kamus Zahabi supaya dapat membantu mereka dalam belajar bahasa Arab. Namun dengan beberapa pertimbangan, penyusun keberatan untuk mencetak ulang kamua al-Zahabi karena dirasa banyak kekurangannya. Hal inilah yang mendorong beliau untuk menyusun kamus Arab-Indonesia. Keputusan Mahmud Yunus untuk menyusun kamus Arab-Indonesia tampaknya tepat sebagai pengganti untuk mencetak kamus Arab-Melayu, dimana saat itu masyarakat Indonesia sudah hidup dalam alam kemerdekaan dan telah menetapkan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi negara dan bahasa nasional. Dan hampir seluruh pelajar di seluruh pelosok nusantara mengenal dan menggunakan kamus ini. Karena ukurannya yang sedang dan ringan memudahkannya untuk dibawa ke mana-mana.

Sistematika Kamus Mahmud Yunus
Dalam penyusunan kamus ini, penyusun menyajikan pendahuluannya dengan bahasa Indonesia yang memakai huruf Latin. Kamus ini secara umum cocok digunakan untuk para pemula dan siapa saja yang hendak belajar bahasa Arab, meskipun mereka belum mahir dlam ilmu sharaf. Dalam kamus ini, selain berisi kata-kata Arab baru, diterangkan juga tafsir-tafsif sulit yang tidak dapat diketahui dengan kaidah-kaidah (wazan-wazan) ilmu sharaf, melainkan harus dihafal dan didengar dari orang Arab asli (kata-kata sama’i).
Dalam susunannya, kamus ini menetapkan lema (entry) dalam bentuk fi’il madhi, sehingga pencarian kata dalam bentuk apapun harus dikembalikan ke dalam bentuk asalnya (fi’il madhi). Misalnya kalau ingin mencari kata دَرْسٌ, مُدَرِّسٌ, atau مَدْرَسَةٌ, maka pencarian kata tersebut harus berangkat dari entri دَرَسَ. Sehingga penguna kamus (pelajar) tidak menjadi kesulitan dengan pola seperti ini walaupun mereka belum mempelajari ilmu sharaf. Menurut Mahmud Yunus, yang memudahkan bahasa Arab adalah karena bahasa itu mempunyai wazan-wazan (neraca, timbangan). Apabila wazan-wazan itu dihafal, maka dapat diketahui kata-kata lain dengan cara mengkiaskan dan mencontohkan kepada wazan itu.
Bahasa lema kamus ini adalah bahasa Arab dan bahasa penjelasnya adalah bahasa Indonesia. Kamus ini ukurannya sedang dan ringan sehingga mudah untuk digunakan dan dibawa ke mana-mana. Sebegai pelengkap, pada kamus ini terdapat kosa kata bergambar yang disajikan menurut kelompok katanya. Hal ini dapat membantu para pelajar untuk belajar bahasa Arab secara visual tanpa perlu menghafalkan mufradat dan dapat membedakan satu makna kata dengan makna lainnya, contoh dalam kata كِتابٌ dan سَبُّورَةٌ. Kosa kata bergambar ini terletak antara pendahuluan dan bab alif sebagaimana dalam kamus al-Marbawi.
Sebagai pelengkap lainnya, pada bagian akhir kamus ini dilengkapi dengan Cara Penggunaan Kamus, Daftar Kata-kata Singkatan, dan Daftar Pustaka yang menjadi rujukan kamus tersebut.

Karakteristik Kamus Mahmud Yunus
Kamus Mahmud Yunus memiliki beberapa karakterisatik, antara lain:
1. Menyebutkan fi’il dan mashdar-nya
Contoh: melayani خَدَمَ يَخْدُمُ خِدْمَةً (Mahmud Yunus: 114)
2. Menjelaskan dua arti, yakni arti sharaf dan arti kamus
Contoh: penduduk (yang mendiami) سَاكِنٌ (Mahmud Yunus: 174)
3. Adanya penambahan na’at dan idhafat
Contoh: sekolah rendah مَدْرَسَةٌ اِبْتِدَائِيَّةٌ
sekolah SMP مَدْرَسَةٌ إِعْدَارِيَّةٌ
sekolah SMA مَدْرَسَةٌ ثَانَوِيَّةٌ
penjaga sekolah خَادِمُ المَدْرَسَةِ
kelas sekolah فَصْلُ المَدْرَسَةِ
direktur sekolah مُدِيْرُ المَدْرَسَةِ (Mahmud Yunus: 126)
4. Menyebutkan macam-macam makna kata sesuai konteks
Contoh: mengajak (kepada) دَعَا إِلَى
mendo’akan kejahatan دَعَا عَلَيْهِ
mendo’akan kebaikan دَعَا لَهُ (Mahmud Yunus: 127)
5. Menyebutkan satu kata dalam beberapa wazan
Contoh: mengetahui sesuatu عَلِمَ
mengajarkan, melatih عَلَّمَ
memberi tahu أَعْلَمَ
belajar, mengaji تَعَلَّمَ
meminta mengetahui اِسْتَعْلَمَ (mahmud Yunus: 277)
6. Menyebutkan sinonim (mutaradif)
Contoh: melatih عَلَّمَ (هَذَبَ) (Mahmud Yunus: 277)
7. Menyebutkan bentuk jama’ taksir-nya
Contoh: ilmu pengetahuan عِلْمٌ جـ عُلُوْمٌ
yang berilmu, alim عَالِمٌ جـ عُلَمَاءُ (Mahmud Yunus: 278)
8. Menyebutkan muannats-nya
Contoh: yang menuntut, yang meminta طَالِبٌ م طَالِبَةٌ (Mahmud Yunus: 238)

Sumber-sumber Kamus Mahmud Yunus
Dalam menyusun kamus Arab-Indonesia ini, Mahmud Yunus merujuk kepada beberapa kamus sebelumnya, antara lain:
1. Al-Mishbah al-Munir, Ahmad al-Muqri
2. Al-Mu’jam al-Washith, Majma al-Lughah al-Arabiyah
3. Al-Mufradat fi Gharib al-Quran, Al-Raghib al-Ashfahani
4. Al-Qamus al-Ashri, Elias A. Elias
5. Kalimat al-Quran, Hasanain M. Makhluf
6. Kamus al-Zahabi, Mahmud Yunus/HMK Bakry
7. Kamus Arab-Melayu, Muhd. Fadhlullah/Th. Brondgeet
8. Kamus Idris al-Marbawi, Mhd Idris al-Marbawi
9. Kamus Modern Bahasa Indonesia, St. Mohd. Zain
10. Kamus Umum Bahasa Indonesia, WJS Poerwadarminta
11. Kamus Umum Inggris-Indonesia, S. Wojosawito dkk.

Kesimpulan
Kamus merupakan penopang utama dalam belajar bahasa Arab. Kamus berguna membantu para penggunanya untuk mengenal kata-kata baru, maknanya, serta penjelasan-penjelasan lainnya yang berkaitan dengan suatu kata.
Kamus Kamus Arab-Indonesia Mahmud Yunus adalah kamus Arab-Indonesia yang pertama disusun oleh orang Indonesia pada tahun 1972. Kamus ini disusun sekembalinya beliau menuntut ilmu di Universitas Al-Azhar Kairo. Kamus ini merupakan penyempurna dari kamus Arab-Melayu Az-Zahabi yang beliau susun sebelumnya. Kamus Arab-Indonesia ini adalah kamus yang sangat populer di kalangan pelajar bahasa Arab di Indonesia, di samping mudah dalam menggunakannnya, juga karena ukurannya yang sedang sehingga mudah untuk dibawa ke mana-mana sehingga tidak heran apabila hampir seluruh pelajar di seluruh pelosok nusantara mengenal dan menggunakan kamus ini. Sekalipun kamus ini sudah lama tetapi hingga saat ini belum berhenti di cetak karena masih banyaknya peminat dan pengguna kamus ini.

Referensi
Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, Hidakarya Agung, Jakarta, 1990.
Moh. Mansyur & Kustiwan, Dalil al-Katib wa al-Mutarjim: Pedoman bagi Penerjemah Arab-Indonesia Indonesia-Arab, Asma Publishers, Jakarta, 2002
Syarif Hade Masyah, Teknik Menerjemah Teks Arab 1, Trans Pustaka, Tangerang, 2005.
Syihabudin, Penerjemahan Arab Indonesia: Teori dan Praktek, Humaniora, Bandung, 2005.

http://irhashshamad.blogspot.com/2008/12
http://pusat-akademik.blogspot.com/2208/10
http://muslim.or.id
http://jaguarspsuinjkt.blogspot.com/2008/11/sejarah-perkamusan-i-indonesia.html