Minggu, 23 Oktober 2011

PERKEMBANGAN ILMU NAHWU

PERKEMBANGAN ILMU NAHWU

Adalah bangsa Arab dahulu pada masa Jahiliyah mendiami jazirah Arab, yang mana mereka tidak bercampur dengan bangsa-bangsa Ajam (bukan Arab) melainkan hanya terkadang saja. Dan yang demikian mengakibatkan fasihnya dialek mereka dalam bahasa Arab, dan kuatnya mereka dalam menerangkan bahasa Arab, serta jauhnya mereka dari kesalahan berbicara dan penyimpangan dalam bahasa Arab.
Dan adalah suku Quraisy menempati kedudukan yang mulia, yang menjadikan mereka pemuka bagi kabilah-kabilah Arab lainnya. Suku Quraisy-lah yang memonopoli pelayanan terhadap Ka’bah. Dan bangsa Arab pergi menunaikan haji ke Ka’bah setiap tahun untuk tujuan ekonomi, seperti berdagang, saling tukar menukar barang dagangan dan juga tujuan-tujuan kesusasteraan, seperti menyaksikan perkumpulan ahli pidato dan syair di pasar-pasar “Ukadz”dan “majnah” dan “Dzil Majaz”.
Tempat-tempat itulah, tempat dimana para penyair dan ahli pidato dari seluruh penjuru bangsa Arab bertemu untuk membangga-banggakan keturunan, berlomba dalam berpidato, saling bersyair, serta berhukum kepada orang-orang yang mulia dari kalangan penyair dan ahli pidato, agar mereka menetapkan keputusan atau menghukumi mereka. Dan dari kalangan mereka terdapat seorang hakim yang masyhur yang bernama “Adz Dzibyani”, yang mana keputusannya ditaati dan tidak ditolak.
Dan sungguh suku Quraisy dengan aspek-aspek pendorong yang diberikan kepada mereka ini, mampu untuk menjadi suku atau qabilah yang paling bersih dialeknya dan paling fasih bahasa mereka, serta paling mencukupi penjelasannya. Maka dialek Quraisy menguasai atas segala dialek-dialek bahasa Arab.
Para ahli sastra pun berlomba-lomba mempergunakan dialek Quraisy, sehingga tersebarlah dialek itu diseluruh penjuru jazirah Arab, dan hal ini adalah yang memperkenankan diturunkannya Al Qur’an dengan dialek Quraisy.
Ketika “bersinar” matahari Islam atas jazirah Arabiyyah, dan manusia masuk dalam agama Allah dengan berbondong-bondong, (hal ini) mengharuskan bangsa Arab untuk tersebar di permukaan bumi serta berhubungan dengan manusia, bercampur dengan bangsa selain Arab diseluruh penjuru negeri yang ditaklukkan oleh kaum muslimin.
Dimana dahulu (kaum muslimin) adalah “Mujahidin” (pejuang-pejuang agama) yang mana mereka bergerak dengan “dakwah yang baru” ke seluruh penjuru alam. Dan sungguh (hal ini) menimbulkan hubungan erat dengan penduduk negeri-negeri (yang ditaklukkan oleh kaum muslimin). Dan merekapun saling tukar-menukar barang-barang perdagangan. Lalu mereka pun menikahi (penduduk-penduduk negeri yang ditaklukkan itu), maka tumbuhlah generasi baru dari anak-anak yang terlahir yang tidak mampu “mengikat” lidah mereka (dengan bahasa Arab), dari sinilah kefasihan dan kelancaran bahasa Arab , dan tabiat mereka rusak, hingga mucullah “kesalahan pengucapan bahasa Arab”, kemudian memencar dan bertambah luaslah (kesalahan pengucapan bahasa Arab ini) hingga mencemaskan dan menggelisahkan “Mereka yang punya rasa cemburu” pada kefasihan bahasa Arab, dan menggoncangkan jiwa-jiwa mereka.
Dan Ibnul Atsir menyebutkan contoh permisalan kesalahan pengucapan bahasa Arab. Contoh ini adalah yang menggiring (kita) untuk mengetahui sebab yang berhubungan dalam peletakkan ilmu Nahwu bahasa Arab. (Dikisahkan) bahwa Abul Aswad Adduali mendengar puterinya salah dalam pengucapan bahasa Arab, dimana puterinya berkata :
“ Ma ajmalas sama i? (“Apakah yang terindah dilangit?”)
(puterinya salah meletakkan harokat huruf)
Lalu Abul Aswad pun menjawab sesuai dengan pertanyaannya : “Yang terindah adalah bintang-bintangnya”. Maka berkatalah puterinya: “Saya tidak bermaksud menanyakan yang terindah dilangit, tetapi yang saya maksudkan adalah saya kagum dengan apa yang ada dilangit !” kemudian berkatalah Abul Aswad kepada putrinya: (kalau itu yang kamu maksudkan) katakanlah:
Ma ajmalas sama a? (“Alangkah indahnya langit!)
Lalu hal ini mendorong Abul Aswad untuk berfikir untuk meletakkan kaidah-kaidah nahwu.
Dan kita mendapatkan faedah disini, bahwa yang meletakkan kaidah nahwu adalah Abul Aswad Adduali, baik itu dengan petunjuk dari Ali bin Abu Thalib atau dicetuskan oleh dirinya sendiri, dan pada sebagian riwayat Umar bin Khatab-lah yang memerintahkan Abul Aswad untuk meletakkan kaidah nahwu, dan pada riwayat lainnya yang memerintahkan adalah Ziyad.
Akan tetapi bagaimana Abul Aswad memulai meletakkan kaidah ilmu nahwu? Atau dengan kata lain yang lebih tepat, bagaimanakah diletakkan kaidah ilmu nahwu?Abul Aswad memulai dengan mengharakati mushaf, ia letakkan titik dan tanda-tanda yang menunjukkan harakat-harakat yang berbeda-beda.
Kemudian (muncullah) gerakan untuk mengarang kaidah nahwu berturut-turut sesudah itu. Dimulainya gerakan ini dengan pengaruh sebagian masalah-masalah nahwu sekitar ayat-ayat Al Qur’an dan bait-bait syair, (dan dikatakan bahwa Isa bin Tsaqafi yang wafat tahun 149 H telah mengumpulkan masalah-masalah itu dalam dua kitab yang ia berinama: “al-Jami’ dan “al-Ikmal” akan tetapi kedua kitab ini tidak sampai sedikitpun kepada kita).
Kemudian datang sesudah itu al-khalil bin Ahmad al-farahidi al-Busairi yang wafat pada tahun 175 H. Ia mempunyai teori yang detail dalam ilmu nahwu, serta ilmu yang luas. Dan ia meneliti dan menyimpulkan lebih luas pada nash-nash dan dalil-dalil penguat yang lebih banyak dari para pendahulunya. Ia banyak meletakkan kaidah pokok-pokok dari ilmu nahwu sampai mendekati uslub-uslub (cara-cara) yang kita membaca (bahasa arab) saat ini. Akan tetapi ia tidak meninggalkan satu karangan pun tentang ilmu nahwu, dan hanyalah ia memberitahukan ringkasan pemikirannya kepada muridnya yang mashur yang bernama “Sibawih”yang mengumpulkan ilmu gurunya dalam ringkasan-ringkasan pendapatnya dan pendapat-pendapat ahli yang hidup semasanya.
Dia susun pendapat-pendapat tentang ilmu nahwu itu semuanya, dan ia kumpulkan dalam kitabnya yang bernilai tinggi yang bernama “al-Kitab”, yang mendapatkan pengakuan dan kepercayaan para ulama. Dan tersebarlah kitab itu keseluruh dunia dan senantiasa tersebar hingga zaman kita saat ini memenuhi dunia dan menyibukkan manusia, hingga dikatakan “Barangsiapa yang belum membaca kitab Sibawih maka tidaklah pantas menjadi ahli nahwu” .
Asas pondasi pelajaran-pelajaran ilmu nahwu adalah al-Quranul-Karim, hadits Rasululullah, syair yang dipercayai kebenarannya, ucapan-ucapan bangsa Arab dan perjalanan (menuntut ilmu bahasa Arab) kepada mereka. Dan para ulama memikul beban dijalan ini dengan kesungguhan yang lama. Dan tidak semua kabilah-kabilah bangsa Arab tepat untuk diambil bahasa mereka, hal ini disebabkan dekatnya mereka dengan peradaban dan bercampur dengan orang Ajam (bukan bangsa Arab).
Adalah kabilah Qois, Tamim, Asad, Hudzail, dan sebagian kabilah Kinanah dan sebagian kabilah Thoi, termasuk dari kabilah-kabilah yang pantas dan dipercaya (untuk diambil ilmu bahasa Arabnya), (hal ini) karena jauhnya mereka dari tempat-tempat kesalahan pengucapan bahasa Arab, oleh karena itu ilmu bahasa Arab mereka diambil. Dan adalah Imam bahasa Arab “Imam syafii” pergi ke tempat Bani Hudzail dengan tujuan untuk belajar kepada mereka. Bani Hudzail adalah Kabilah yang paling fasih dalam berbahasa Arab. Beliau tinggal di tempat Bani Hudzail selama 17 tahun. Ditempat ini beliau banyak menghafal sya’ir-sya’ir, memahami secara mendalam sastra Arab dan berita-berita tentang peristiwa yang dialami oleh orang-orang Arab.(lihat siyar alamun Nubala)
Adapun kabilah himyar, lahm, judzam, dan kudho’ah, ghassan, iyad dan tsaqif bukanlah kabilah yang pantas untuk dipercaya (diambil ilmu bahasa Arab mereka) di sebabkan mereka tinggal berdampingan dengan orang-orang Ajam (bukan bangsa Arab). Dan muncul dan meresap dalam lisan-lisan mereka kesalahan pengucapan bahasa Arab, oleh karena itu para ulama menjauhinya dan tidak mengambil ilmu bahasa Arab dari mereka.
Diterjemahkan dan diringkas dari kitab Syarh Ibnu Aqil lil Alfiyah Ibnu Malik juz pertama
Maraji’:
Diterjemahkan dan diringkas dari kitab Syarh Ibnu Aqil lil Alfiyah Ibnu Malik juz pertama
Copyright : www.salafi.or.id

Sumber: http://kiflipaputungan.wordpress.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar