Minggu, 23 Oktober 2011

MAKNA DI BALIK IBADAH KURBAN

Khutbah Idul Adha 1431 H.
Makna di Balik Ibadah Kurban
H. Ilyas Rifai, MA.

Assalamu'alaikum Wr. Wb.
Maasyiral Muslimin rahimakumullah
Marilah kita panjatkan puji syukur ke hadirat Allah Swt. atas segala nikmat dan karunia-Nya. Di pagi nan indah ini kita masih diberi umur panjang dan kesehatan, sehingga untuk kesekian kalinya kita berkesempatan menikmati keagungan Idul Adha sebagai hari besar Islam untuk mengagingkan Allah, memiji-Nya dan bersyukur kepada-Nya.
Allahu Akbar Allahu Akbar Allahu Akbar Walillahi Hamd
Ada dua peristiwa sakral dan agung pada hari raya idul adha, yaitu disyariatkannya ibadah kurban dan kewajiban ibadah haji, yang kedua-duanya merupakan syariat yang berasal dari sejarah kehidupan Nabiyullah Ibrahim as.
Berkurban (Qurban) secara harfiah, bermakna “dekat”. Berasal dari bahasa Arab qaruba-yaqrubu-qurban-waqurbanan. Yakni sebuah usaha untuk menyingkirkan hal-hal yang dapat menghalangi upaya mendekatkan kita kepada Allah.
Upacara kurban pertamakali dalam sejarah kemanusiaan dimulai oleh kisah Qabil dan Habil, putra Nabi Adam as. Keduanya disuruh berkurban oleh ayah mereka. Habil mempersembahkan hewan yang paling baik dengan hati yang ikhlas. Sementara Qabil berkurban hanya untuk mengalahkan saudaranya. Kisah ini kemudian dicatat dalam QS. Al-Maidah: 27-30. Dan peristiwa ini menjadi tonggak awal sejarah kurban dalam agama Islam.

Ceritakanlah kepada mereka kisah kedua putera Adam (Habil dan Qabil) menurut yang Sebenarnya, ketika keduanya mempersembahkan korban, Maka diterima dari salah seorang dari mereka berdua (Habil) dan tidak diterima dari yang lain (Qabil). ia Berkata (Qabil): "Aku pasti membunuhmu!". Berkata Habil: "Sesungguhnya Allah Hanya menerima (korban) dari orang-orang yang bertakwa".
"Sungguh kalau kamu menggerakkan tanganmu kepadaku untuk membunuhku, Aku sekali-kali tidak akan menggerakkan tanganku kepadamu untuk membunuhmu. Sesungguhnya Aku takut kepada Allah, Tuhan seru sekalian alam."
"Sesungguhnya Aku ingin agar kamu kembali dengan (membawa) dosa (membunuh)ku dan dosamu sendiri, Maka kamu akan menjadi penghuni neraka, dan yang demikian Itulah pembalasan bagi orang-orang yang zalim."
Maka hawa nafsu Qabil menjadikannya menganggap mudah membunuh saudaranya, sebab itu dibunuhnyalah, Maka jadilah ia seorang diantara orang-orang yang merugi. (QS. Al-Maidah: 27-30).

Allahu Akbar Allahu Akbar Allahu Akbar Walillahi Hamd
Dalam konteks Idul Adha, berkurban memiliki nilai historis dan pesan makna yang lebih luas. Pertama, hari raya kurban mempunyai kaitan dengan peristiwa Nabi Ibrahim as, yakni, ketika Allah memerintahkan untuk menyembelih putranya Ismail as. Padahal telah sekian lama ia mendambakan kehadiran anak itu dengan berdoa siang dan malam: Rabbi habli minasshalihin (Tuhan, karuniai aku anak yang saleh). Doa itu terkabul, lahirlah seorang anak yang dalam bahasa Al-Quran disebut ghulaman halima (bocah yang lembut).
Ironisnya, ketika anaknya berangkat dewasa, Allah memerintahkan pengorbanan yang paling sulit dilihat dari kepentingan dirinya sebagai seorang ayah dan hamba yang telah lama mendambakan keturunan. Kita bisa membayangkan bagaimana perasaan Nabi Ibrahim as. kala itu. Anak yang didambakan dan menjadi tumpahan rasa kasih sayangnya itu harus rela dikorbankan demi memenuhi perintah Allah. Sungguh! Itu adalah sebuah perjuangan yang sangat berat!

“Tatkala anak itu sampai (pada usia sanggup) berusaha, Ibrahim berkata, ’Hai anakku, sesungguhnya aku melihat dalam mimpi menyembelihmu. Maka bagaimana pendapatmu?’ Ia menjawab, ‘Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu. Insya Alloh kamu akan mendapatiku termasuk orang yang sabar’” (QS. Ash-Shaffat: 102)

Meskipun perintah tersebut sebenarnya hanya ingin menguji keimanan Ibrahim, pasalnya, ketika dikaruniai anak, cinta Ibrahim mulai terbagi. Kalau dulu (sebelum berketurunan) dia sangat konsentrasi pada Allah, setelah kehadiran Ismail, konsentrasinya mulai terbelah: pada Allah dan pada anaknya. Karena saking cintanya, Allah pun mengujinya dengan scenario yang tak kalah ektrem, memerintah agar segera menyembelih Ismail as. ternyata Nabi Ibrahim berhasil lulus membunuh “berhala” dalam hatinya. Meski, saat akan dilakukan penyembelihan itu, kemudian Allah menggantinya dengan seekor kambing.

‘Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipisnya, (sehingga terbuktilah kesabaran keduanya), maka Kami panggil dia: ‘Hai Ibrahim, sungguh kamu telah membenarkan mimpi itu. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata’.” (QS. Ash-Shaffat: 103-106)

“Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. Kami abadikan untuk Ibrahim (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang datang kemudian. Kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim.” (QS. Ash-Shaffat: 107-109)

Perintah sembelihlah anakmu, sebenarnya adalah perintah menyembelih segala ego, kerakusan, dan nafsu yang ada di dalam hati, yang itu semua dapat menjadi tabir kedekatan dan hubungan kita terhadap Allah dan sesama manusia. Peristiwa yang memiliki makna yang luar biasa ini sampai kini masih ditradisikan oleh Islam.
Kedua, digantinya Ismail dengan hewan kurban itu juga memiliki latar sejarah. Nabi Ibrahim dilahirkan di sebuah kabilah yang bernama Jurhum. Di kabilah itu, animisme menjadi sebuah kepercayaan, yang kerap melakukan pengorbanan manusia; entah itu anaknya, istrinya, dengan mengatasnamakan Tuhan. Jadi, tradisi kurban itu sudah ada dan sudah terbiasa sekali. Disembelihnya Ismail yang kemudian diganti dengan hewan ternak itu, sebenarnya merupakan simbolisasi diangkatnya esensi harkat dan martabat manusia ke dalam citra kemanusiaannya yang paling mulia. Ia mencontohkan kepada umatnya agar mengubah sebuah tradisi yang tidak memanusiakan manusia tersebut. Karena, pada hakikatnya sesama manusia itu tidak boleh saling membunuh. Allah tidak butuh sesaji atau darah apa pun. Dalam Islam, berkurban hendaknya dimaknai sebagai proses penyucian diri (tazkiatu nafs) atas segala noda dan dosa di dalam ranah diri serta bisa dirasakan oleh orang lain dalam ranah masyarakat.
Allahu Akbar Allahu Akbar Allahu Akbar Walillahi Hamd
Hari ini, begitu usai melaksanakan shalat Id hingga hari-hari tasyrik, tanggal 11, 12, 13 Dzulhijjah, umat Islam yang mampu diperintahkan untuk memotong hewan kurban. Rasulullah mengancam terhadap orang yang mampu tetapi enggan untuk beribadah kurban.

Barangsiapa yang mempunyai kelapangan rezeki tetapi tidak berkurban, makatak patut ia mendekati tempat shalat kami (HR. Ahmad)

Allahu Akbar Allahu Akbar Allahu Akbar Walillahi Hamd

Daging kurban itu untuk siapa?
Diriwayatkan, bahwa setiap hari raya Idul Adha tiba, Rasulullah menyembelih dua ekor domba yang gemuk, bertanduk, dan berbulu putih bersih. Sebagian dari dagingnya dimakan oleh Rasulullah dan keluarganya. Sebagiannya lagi ditebarkan kepada fakir miskin.
Dari riwayat tersebut jelaslah, bahwa daging kurban itu diperuntukkan oleh sebagian pelaku kurban dan senagian lainnya untuk fakir miskin. Bukan untuk Allah karena Allah tidak memakan dagingnya. Oleh karena itu, penyembelihan hewan kurban hendaknya diartikan sebagai proses diri menuju ketakwaan. Allah berfirman:

“Tidak sampai kepada Allah daging dan darahnya. Tetapi yang sampai kepada-Nya hanyalah ketakwaanmu” (QS. Al-Hajj: 37).

Jadi, berkurban tidak sekedar ritual persembahan untuk meningkatkan spiritual kita, tetapi juga untuk memperkuat kepekaan dan kepedulian sosial kita. Idul Adha adalah sebuah ibadah untuk mendekatkan diri kita kepada Allah, dengan cara mendekatkan diri kita kepada sesama manusia. Bila ibadah puasa mengajak kita merasakan lapar seperti orang-orang miskin, maka ibadah kurban mengajak mereka untuk merasakan kenyang seperti kita.
Berkurban perlu dimaknai secara lebih luas. Berkurban tidak hanya berhenti dengan penyembelihan seekor kambing atau sapi saja, tetapi segala hal yang kita miliki. Mulai dari perhatian, cinta kasih, kesabaran, tenaga, pikiran, dan lain sebagainya. Maka, bagi orang-orang kaya, arti berkurban bisa berarti berbagi harta, bagi kaum cendikia berkurban berarti membagi sumbang saran dan pikiran, bagi pemilik kekuasaan, berburban berarti memperbaiki kebijakan untuk kemaslahatan umat, sedangkan bagi yang emosional berkurban berarti kesabaran.
Makna ibadah kurban sejatinya adalah menyembelih segala kendala yang menghalangi “perjalanan” kita menuju Allah, yang membuat hati tuli terhadap nilai-nilai etika dan agama. Pendeknya, pada saat kita menyembelih binatang kurban di hari raya ini, hendaknya kita juga “menyembelih” sifat kebinatangan dalam diri kita sendiri; rasa egois, sifat tamak, rakus, juga cinta berlebih terhadap harta dan kekuasaan kita. Kita tidak bisa langsung mendekatkan diri kepada Allah, kecuali setelah memenggal sesuatu; harus ada yang diputus, yaitu elemen-elemen yang menghambat diri untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt.

Allahu Akbar Allahu Akbar Allahu Akbar Walillahi Hamd
Peristiwa yang dialami oleh Nabi Ibrahim as. dan putranya, Ismail as. serta ketabahan istrinya, Hajar, memberikan contoh dan suri tauladan kepada kita betapa pentingnya fungsi iman bagi kehidupan keluarga agar kita menempatkan kewajiban taat kepada Allah di atas segala-galanya. Artinya, ketaatan kepada Allah harus diletakkan di atas kecintaan seorang ayah terhadap anak, istri, dan kecintaan terhadap harta, jabatan, kesenangan dan kebanggaan lainnya.
Pekik dan gema takbir (Allah Yang Maha Besar) mesti dipahami, sekali kita berketetapan bahwa hanya Allah yang maha besar, dan yang lainnya menjadi kecil. Maka di hari raya ini, marilah kita perbanyak bertakbirlah, bertahlil, dan bertahmid! Mari kita gunakan sebagian harta yang kita miliki untuk berkurba. Rizki yang kita makan akan menjadi kotoran. Rizki yang kita pakai akan menjadi benda usang, dan rizki yang didermakan, itulah yang akan abadi dan bernilai di hadapan Allah Swt. Selamat berkurban, semoga kurban kita merupakan cerminan dari cinta kita kepada Allah, sehingga Allah akan membalas cinta-Nya dengan pahala dan keridlaan-Nya. Amin Ya Rabbal Alamin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar